Suka Duka Menjadi Asisten Peneliti


Sekitar Juli sampai Agustus 2017, saya dan beberapa rekan saya mendapat kesempatan bertugas menjadi asisten peneliti di Aceh Singkil dan Kupang. Awalnya saya sempat ragu untuk terlibat dalam penelitian ini, karena tema penelitiannya sangat sensitif, yaitu mengenai kerukunan masyarakat Indonesia. Dengan modal nekad dan demi mendapatkan pengalaman yang berbeda, saya memutuskan untuk ikut andil dalam penelitian ini. Penelitian ini dilakukan di 6 daerah yang pernah terlibat konflik antar-agama, yaitu Bekasi, Sampit, Poso, Lampung Selatan, Aceh Singkil, dan Kupang. Namun, saya hanya terlibat di daerah Aceh Singkil dan Kupang. Dalam penelitian ini saya ditemani dengan 3 rekan kerja lainnya yang berasal dari Bener Meriah, Aceh Besar, dan Bandung. Aceh Singkil menjadi lokasi pertama yang saya kunjungi. Saya dan 2 rekan lainnya berangkat menuju Aceh Singkil dari kota Banda Aceh. Sedangkan rekan dari Bandung langsung menuju lokasi melalui kota Medan. Sesampainya di lokasi, kami terlebih dahulu mengurus perizinan di kantor pemerintahan setempat, tepatnya di kantor Kesbangpol (Kesatuan Bangsa dan Politik). Sambutan yang kami terima sangat positif. Meskipun kasus konflik antar agama di daerah Aceh Singkil masih bisa dikatakan ‘segar’, tetapi kami tetap diterima dengan tangan terbuka.


Cuaca Aceh Singkil dan Banda Aceh tidak jauh berbeda, sama panasnya. Dengan cuaca seperti itu, kami harus siap berjalan kaki dari rumah ke rumah untuk mendapatkan responden. Warga sekitar langsung mengenali keberadaan pendatang baru di wilayah mereka. Hal ini karena untuk pergi ke mana pun, kami biasa berjalan kaki. Sedangkan warga sekitar sangat jarang berjalan kaki bahkan untuk keperluan terdekat sekali pun. Selama melakukan penelitian, saya dan rekan lainnya bertugas untuk mengumpulkan data dengan metode guide interview pada masyarakat sekitar. Selain wawancara singkat perorangan, kami juga melakukan wawancara kelompok di warung kopi atau tempat keramaian lainnya. Setelah seharian mengumpulkan data penelitian, sore harinya kami cross check kuesioner untuk kemudian malamnya diberikan ke ketua tim. Selama proses pengumpulan data penelitian, tak jarang kami mendapat berbagai penolakan. Bahkan ada masa ketika kami hanya mendapatkan kurang dari 10 responden dengan perjalanan yang sudah cukup menguras tenaga dan waktu.

Meneliti hal yang berhubungan dengan agama memerlukan kecermatan yang ekstra. Maklum saja, belakangan ini isu suku agama dan ras (SARA) sangat mudah terbakar, bagai bara dalam sekam. Harus hati-hati dalam memilih kalimat, agar tidak menimbulkan berbagai prasangka. Tidak jarang juga terjadi gejolak batin ketika melakukan wawancara dengan responden yang berbeda agama. Terlebih ketika mendapat responden yang sangat jujur mengungkapkan pandangan negatifnya mengenai agama yang kita yakini. Tapi sebagai peneliti, saya dituntut untuk bersikap profesional dan tidak memihak pada agama apa pun.


Ada hal unik yang saya temui ketika melakukan penelitian di Singkil, tepatnya kecamatan Danau Paris. Kecamatan ini sudah mengarah ke daerah Simalungun, Sumatera Utara. Letak geografis kecamatan ini membuat wilayahnya memiliki komposisi masyarakat yang unik dalam hal keyakinan. Wilayah ini banyak terdapat warga beragama Kristen Protestan dan Katolik. Tak jarang juga ditemui warga yang tidak menganut agama, melainkan menganut keyakinan dari Raja Sisingamangaraja, yang disebut dengan Pambi. Di wilayah ini juga kerap dijumpai satu keluarga yang terdiri dari beberapa agama yang tinggal dalam satu atap. Hal unik lainnya adalah ketika banyak warga yang menganggap kami sebagai orang pemerintahan yang akan memberikan bantuan. Yang tak kalah mengesankan adalah ketika selesai wawancara, banyak warga yang mengingatkan kami jika datang ke daerah tertentu jangan pernah menerima makanan/minuman yang ditawarkan karena daerah tersebut masih memiliki unsur mistis yang kuat. Tentu saja berita itu sempat membuat kami was-was dan merinding. Meskipun demikian, selama penelitian di Singkil, tak jarang juga kami mendapat tawaran makanan/minuman dari warga. Saya pribadi meyakini, jika kita tidak memiliki niat buruk, Tuhan akan melindungi kita.  Syukurnya, tidak ada yang terjadi hingga tugas selesai dilaksanakan.

Penelitian di Aceh Singkil pun selesai dalam waktu sekitar dua minggu. Setelah istirahat sekitar seminggu, saya, ketua tim dari Bandung, dan rekan dari Aceh Besar melanjutkan penelitian di Kupang. Berbeda halnya dengan Kupang. Jika di Aceh Singkil agama kristen menjadi minoritas, di Kupang agama Kristen merupakan mayoritas. Meneliti konflik agama dimana saya sendiri sebagai minoritas membuat perasaan jadi tak menentu. Bahkan saya sempat membayangkan akan terjadi suatu hal yang berbahaya selama saya melakukan penelitian di Kupang. Namun hal itu sirna, ketika saat di pesawat menuju Kupang dari Surabaya, penumpang yang duduk di sebelah saya, yang merupakan warga lokal, memberi saya uang untuk membeli sarapan besok pagi dengan alasan karena saya ke Kupang untuk merantau, jadi butuh uang lebih banyak. Secara nominal yang ditawarkannya tidak lah besar, tetapi saya terkagum dengan kemurahan hati beliau pada orang asing. Tidak hanya itu, saat melakukan penelitian, tim kami banyak dibantu oleh warga lokal yang tidak dikenal sama sekali. Tetapi mereka menawarkan diri untuk turut membantu mencarikan responden untuk penelitian kami.


Tentu saja juga ada pengalaman yang tidak menyenangkan ketika melakukan penelitian di Kupang. Contohnya ketika kami harus mengunjungi daerah yang sebelumnya pernah ditimpa musibah, dimana pelaku merupakan wanita berhijab yang melakukan penipuan. Bahkan menurut pengakuan salah satu perangkat kecamatan di suatu daerah yang akan kami teliti, juga ada wanita berhijab yang terkena sayatan pisau karena terlibat suatu masalah dengan penduduk setempat. Selain itu, salah satu rekan saya juga mendapatkan daerah yang banyak babi, sehingga membuat proses pengambilan data menjadi tidak nyaman. Tetapi, sebagai peneliti hal seperti itu harus bisa diatasi agar tidak menghambat proses penelitian.

Di kota ini, saya mendapatkan banyak pembelajaran, khususnya mengenai toleransi beragama. Teman-teman lokal yang kami temui tidak ada yang memiliki agama sama dengan yang kami yakini. Tetapi ketika waktu makan siang tiba, mereka selalu membawa kami ke tempat makan yang penjualnya beragama Islam. Jika berjalan beriringan dan diperjalanan berpapasan dengan anjing, mereka juga dengan sigap melindungi kami dari sentuhan anjing yang mencoba mendekat. Di tempat ini saya juga mendapat kesempatan untuk belajar mengenai agama Hindu dan ikut merasakan atmosfer tempat ibadah agama Hindu. Di sini juga bisa ditemui tiga tempat ibadah besar berdiri di satu jalan yang sama, yaitu mesjid, gereja, dan pura. Menurut saya, hal seperti ini merupakan toleransi yang nyata.

Secara umum, dari hasil wawancara yang saya lakukan ke beberapa warga, baik di Aceh Singkil maupun Kupang, ada kesamaan jenis konflik yang terjadi. Warga setempat mengatakan bahwa konflik yang terjadi sebenarnya bukanlah konflik antar agama, tetapi merupakan konflik anarkisme pemuda setempat yang dimanfaatkan oleh segelintir oknum sehingga terbit ke permukaan sebagai konflik antar agama. Jika boleh menilai, menurut saya, Kupang memiliki nilai toleransi antar beragama lebih baik dari pada Aceh Singkil. Hal ini terlihat dari beberapa respon dan jawaban hasil wawancara warga mayoritas terhadap minoritas. Selain itu, Kupang juga berhasil membentuk suatu wadah organisasi keagamaan yang mengumpulkan semua agama yang ada di Kupang. Sehingga jika terjadi perselisihan antar agama, organisasi ini yang bertugas menjadi penetralisir. Saya kira, Aceh Singkil dapat meniru langkah daerah Kupang demi mewujudkan masyarakat yang bertoleransi dan cinta damai.

Sekarang kedua daerah ini sudah aman dari isu konflik. Jadi tidak perlu risau jika harus berkunjung ke daerah tersebut. Selain itu, Aceh Singkil dan Kupang juga memiliki keindahan alam yang luar biasa. Sehingga sangat cocok untuk dijadikan daftar tempat wisata selanjutnya. Saya tidak menduga ternyata dunia penelitian dan menjadi asisten penelitian memberikan banyak pembelajaran berharga bagi saya. Pengalaman meneliti ini juga semakin membuka pemikiran saya tentang dunia psikologi yang ternyata cakupannya benar-benar sangat luas, termasuk dalam hal kehidupan bermasyarakat. Selama penelitian, melakukan pendekatan dengan calon responden merupakan kewajiban mutlak dan memiliki keahlian tersendiri. Dalam hal ini, psikologi sangat besar manfaatnya. Meskipun harus berurusan dengan banyak berkas dan jam kerja yang dikejar target, tetapi saya sangat menikmati dunia penelitian dan berharap bisa terlibat lagi dalam penelitian lainnya. Ohh iya, jangan bayangkan peneliti itu hanya berkutat dengan cairan-cairan dan kerja dalam ruangan yang disebut laboratorium. Dalam psikologi, lingkungan sekitar adalah laboratorium dan masyarakat selalu punya cerita unik untuk diteliti. Hehee

Comments

  1. Betuls sekali cha. Dulu mainset aku juga gitu. Meneliti berarti di laboratorium.. Eh sekarang banyak berkecimpung di dunia penelitian. Yg objeknya bukan benda mati. Tetapi benda hidup

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Eksotisme Pulau Banyak

Dear Zindagi