Posts

Showing posts from December, 2017

#6. Hujan dan Sebuah Memori

Beberapa jam yang lalu matahari bersinar sangat cerah. Windu sempat melihat telepon genggamnya untuk memastikan suhu saat itu. Tertera di layar angka 32 sebagai perhitungan suhu. Cuaca hari ini cukup jadi alasan untuk bermalas-malasan di ruang kelas. Tanpa diduga, hujan datang. Mengguyur bumi dengan sangat deras. Terlihat orang berlarian mencari tempat untuk berteduh. Beberapa diantaranya bahkan mengutuk langit karena telah menurunkan hujan hingga membuat baju kesayangan basah kuyup. Cuaca memang sangat sulit untuk ditebak. Windu terduduk di depan ruang kelas. Matanya menatap lurus ke depan. Menerawang jauh ke masa yang menyimpan berjuta memori. Hujan memang suka membawa pikiran berkelana ke ruang memori. Hujan juga yang membuat Windu punya memori unik. "Cantiiiiik. Ayo masuk! Hujan nih," seorang berteriak dari dalam rumah sambil menggerakkan tangannya. Isyarat agar lawan bicaranya menuruti perintah. Namun lawannya tak bergeming. Tak menghiraukan perkataan lelaki bertubuh

#5. Ruang di Ujung Lorong

"Jadi relawan itu buat candu" Kalimat itu terngiang di telinga Windu. Zahra yang mengucapkannya. Windu dan Zahra sering berbeda pendapat. Bahkan mereka pernah berdebat tentang larangan menjemur pakaian di depan pintu. Windu meyakini hal itu tidak boleh sebagai hasil pengajaran dari ibunya. Tapi Zahra tak setuju. Baginya sah-sah saja. Terlebih saat tak ada lagi tempat yang bisa dipakai untuk menjemur. Terkadang Windu memang kaku dengan hal seperti ini. Namun, untuk urusan menjadi relawan, mereka punya pemikiran yang sama. Sejak acara di desa sebulan lalu, Windu jadi sering terlibat dengan kegiatan relawan. Ia tak lagi harus menunggu Zahra jika ingin mengikuti kegiatan di Rumah Cita. Bahkan sekarang Windu sudah jadi relawan tetap. Rumah Cita jadi tempat pelariannya saat tugas kampus berusaha memecahkan kepala. Anak-anak di Rumah Cita memberikan pelajaran berbeda untuk Windu. "Bagaimana perasaanmu?" Tanya wanita dewasa itu dengan tatapan menghangatkan di suatu p

#4. Jurnal Harian

Kapal Dolphin sedang bercumbu mesra dengan air laut. Ukurannya yang tidak besar mengharuskan ia mengalah pada lautan. Berlayar di pinggir laut agar tak termakan ombak besar. Sesekali Dolphin harus memanjat ombak demi bisa terus melaju ke tempat tujuan. Tak jarang seseorang dibalik lajunya Dolphin harus menurunkan knot untuk menjaga keseimbangan. Dolphin ini sangat lihai. Seolah sudah berteman akrab dengan lautan. Layaknya Dolphin yang sebenarnya. Di sudut Dolphin terlihat seorang anak kecil. Sebenarnya ia sangat cantik. Namun aromanya sudah tak mengenakkan hidung. Baru setengah jam perjalanan, ia sudah pucat pasi. Mengeluarkan isi perut yang mendesak ingin bebas. Jika ditampung, sudah menghabiskan setengah lusin plastik. Seseorang di sebelahnya terlihat sibuk mengurut tengkuk anak kecil itu. Padahal, memandangi laut sangat menyenangkan. Tapi sayang, anak kecil tadi tak bisa turut merasakan sensasinya. Sebisa mungkin Windu menjauh dari anak kecil itu. Ia takut akan melakukan hal sa

#3. Pengamat

Sejak lima menit lalu seekor kupu-kupu terlihat sibuk. Beterbangan ke sana ke mari. Sesekali menabrakkan tubuhnya ke benda yang terpampang besar dan mengelilingi ruangan ini. Sepertinya ia mencari jalan ke luar. Benda besar ini memang transparan. Mungkin itu lah alasan si kupu-kupu menabrakkan badannya. Ia mengira itu jalan keluar dari ruangan. Ada begitu banyak orang dalam ruangan. Tapi sepertinya tak ada yang menyadari keberadaan si kupu-kupu. Membuat kupu-kupu harus terbang mengelakkan tabrakan dengan tubuh manusia yang ukurannya berkali lipat. Beberapa menit sekali kupu-kupu berhenti terbang. Lalu hinggap di bingkai lukisan pemandangan yang menghiasi ruang. Mungkin ia lelah. Terbang ke sana ke mari, tapi tak jua menemukan pintu keluar. Sekilas, ia terlihat bahagia karena terbang ke sana ke mari. Tapi sebenarnya ia terpenjara dalam keramaian ini. 'Driiittt' suara pintu terbuka. Disusul dengan seseorang masuk ke ruangan. Seketika Windu menatap kupu-kupu yang sedang istira

#2. Peramal

Hari ini akan menjadi pertemuan ketiga dengan wanita dewasa waktu itu. Pertemuan yang lalu tidak begitu berjalan mulus. Ada rasa yang tak menentu. Windu sempat dibuat takut menghadapi wanita yang gemar mengenakan blazer biru muda. Kabarnya wanita itu juga paling ditakuti di gedung ini. Rasa takut campur was-was membuat pertemuannya tak begitu bermakna. Meskipun begitu, Windu tetap menyelesaikan tugas yang diminta beliau. Demi mencapai cita-cita, Windu rela mengorbankan satu jam waktunya setiap malam sebelum tidur. Pagi ini matahari bersinar dengan sangat cerah. Dua hari yang lalu hujan turun berturut-turut. Beberapa penghuni kamar kosan harus rela menguras air yang sudah menyentuh mata kaki. Salah satu derita anak kos! Untungnya hari ini cerah. Sepertinya mentari sudah lelah bersembunyi di balik awan. Dia lelah bermain petak umpet bersama manusia. Setelah mendapat mandat dari Pencipta, ia pun memberikan kehangatan pada umat manusia. Cerahnya hari ini tidak secerah suasana hati Wind

#1. Selimut Tua

"Baiklah, hari ini cukup sampai disini saja. Nanti kita atur pertemuan selanjutnya ya. Jangan lupa selesaikan tugas yang saya berikan." seorang wanita muda dewasa menyampaikan kalimat penutup dengan penuh kehangatan pada gadis yang duduk di depannya. Gadis itu menganggukkan kepala, tanda setuju dengan perkataan wanita dewasa tersebut. Ia beranjak dari kursi yang sudah mengempes busanya karena lelah dikencani. Setelah berpamitan pada wanita tersebut, ia menarik gagang pintu dari ruangan sederhana berwarna putih yang menenangkan mata saat memandang. Sekali lagi diarahkannya pandangan pada wanita yang masih duduk di belakang meja, kemudian menarik kedua sisi bibirnya diikuti dengan menarik gagang pintu ke arah luar. Ia menyusuri satu-satunya lorong lantai dua yang ada di gedung ini. Lorong yang masih bernuansa sama, juga berwarna putih layaknya ruang yang baru dikunjungi. Ia melangkahkan kakinya dengan pasti. Melewati berbagai rupa manusia yang beberapa diantaranya masih sanga

Samenan: Sebuah Perayaan Kelas Laskar Aksara

Samenan? Apa itu? Jujur, aku juga baru beberapa hari yang lalu mendengar kata itu. Tentu saja aku mengenalnya dari keluarga baru yang kusebut Laskar Aksara. Pertama kali melihat tulisan Samenan, aku membacanya semenan. Apaan tuh semenan? Nyemen? Kayak nyemen bangunan gitu? Setelah kuperhatikan lebih lanjut, ternyata "Samenan". Samenan ini merupakan bahasa Sunda dan sudah menjadi tradisi daerah Tasikmalaya yang berarti perayaan naik kelas atau dilakukan ketika perpisahan. Iya iyaaa, keluarga Laskar Aksara ini memang tersebar di Indonesia. Makanya nih, kalau kamu mau punya keluarga baru, wajib ikutan Laskar Aksara. Nah, kami pun mengadopsi kata ini untuk merayakan kenaikan kelas para anggota keluarga Laskar Aksara. Bagaimana kenaikan kelasnya kami? Apa indikasinya? Sederhana saja. Semua anggota telah mampu menyelesaikan tantangan menulis satu tema untuk satu hari. Itu merupakan pencapaian yang luar biasa, terlebih untuk aku si pemula ini. Nah, karena sudah mampu menyelesaikan

Lika-liku Pencarian Cinta (Part 1)

Sepasang Bola Mata Hari ini sangat terik. Mentari sedang semangatnya memancarkan sinar. Dua hari yang lalu hujan turun berturur-turut. Banyak manusia yang mengeluh karena hujan telah menghambat berbagai aktivitas. Akhirnya hari ini Dia mengutus matahari untuk bersinar terang. Dia berharap manusia akan berterima kasih. Tapi sayang, manusia terlalu sulit dimengerti. Manusia itu juga mengeluhkan hal yang sama. Seperti halnya mengeluh waktu hujan. Entah apa yang mereka inginkan. Seorang lelaki berkaos oblong abu-abu itu pun tampak gerah dengan cuaca hari ini. Ia mencoba meneduhkan diri di bawah pohon beringin. Tak jauh dari keramaian. Tampaknya Ia begitu sibuk. Terus menatap ke bawah, mengotak-atik handphone tanpa memperdulikan sekitarnya. Ia Gillan. Mahasiswa teknik elektro yang suka sama hal berbau teknologi. Gillan juga cinta sama kecepatan. Gillan suka ponsel yang punya dapur pacu cepat. Suka komputer yang mampu merespon cepat. Teknologi terkini yang bersaing cepat. Hingga suka

Menyapa 30 Hari Berikutnya

Akhirnya aku tergerak untuk menulis tantangan hari terakhir ini. Entah kenapa sejak tadi pagi ada perasaan enggan yang merantaiku untuk tidak menyelesaikan misi penutup kali ini. Rasanya aku takut tak bisa bertemu lagi. Mungkin aku sudah terlanjur cinta pada tantangan #30DWC yang karena ia lah aku bisa bertemu dengan berbagai watak. Seolah kami sudah kenal lama dan terikat dalam untaian aksara. Seperti kata salah satu guru kami di Laskar Aksara, dari tulisan-tulisan itu kami saling mengenal. Melalui tulisan kami mencoba membaca watak sang penulisnya. Tak jarang juga aku suka melukis di kepala tentang sosok yang sedang kubaca ceritanya. Aku bakal rindu semua itu. Meski katanya akan ada tantangan kedua yang direncanakan dibulan pembuka tahun. Entah apa jadinya aku saat menunggu kedatangan masa itu. Tak bisa pula kubayangkan kelak akan seperti apa nasib rumah kataku. Rumah tempat aku menuangkan kata dengan jujur. Semoga aku bisa mengunjungimu sebelum laba-laba membuat sarang di rumahku.

Surat Untuk Anakku Di Masa Depan

Tadi Ibu baru selesai membaca salah satu postingan tentang parenting dari seorang psikolog yang Ibu ikuti di sosial media. Ibu suka membaca tulisannya. Ibu suka cara beliau menjelaskan materi parenting yang mudah dimengerti. Ibu memang suka membaca hal yang berhubungan dengan dunia parenting . Hal ini karena kelak Ibu ingin menguasai ilmu ini lebih dalam. Selain bermanfaat untuk menambah pengetahuan juga dapat menjadi bekal Ibu kelak dalam mendidikmu, anak-anakku. Ibu ingin memiliki ilmu parenting yang baik agar kelak Ibu tak menjadikan kamu sebagai media penyombongan diri. Ibu ingin bercerita, nak. Saat ini sangat banyak orang tua yang menyuruh anaknya ikut kursus ini itu, bukan untuk kepentingan anak. Tapi justru agar si orang tua merasa lebih berkelas dari orang tua lainnya. Banyak orang tua yang menuntut anaknya bisa ini itu bukan semata agar anaknya lebih baik. Tapi karena orang tua tak kuat menahan malu jika anaknya tertinggal dari anak lain. Tak sedikit juga orang tua yang

Menulis Sebagai Media Katarsis

Hari ini Jumat. Tadi pagi aku mengawali hari dengan berbalas pesan bersama salah satu teman sekaligus seniorku di Yayasan Puleh Aceh, tempatku belajar tentang psikososial dan berbagai resolusi konflik. Setelah itu aku harus menyelesaikan tugas rumah, berhubung sudah masuk jadwal piketku. Lalu aku beristirahat sambil berselancar di dunia maya. Mendengarkan berbagai macam video berbahasa inggris. Mulai dari video motivasi yang ku dapat di akun TEDx, mengikuti berbagai akun native speaker yang membahas tentang berbagai hal seperti fotografi, finansial, dan lainnya, hingga benar-benar belajar bahasa inggris dari akun penyedia bahan ajar bahasa inggris. Itu sudah seperti rutinitas harian bagiku. Biasanya saat malam tiba, sebelum aku mengerjakan tugas tantangan #30DaysWritingChallenge, aku membaca berbagai artikel berbahasa inggris. Tak banyak, cukup dua atau tiga artikel saja. Jika mood sedang bagus, mungkin bisa lebih. Selain hal yang kusebutkan di atas, sebulan ini aku sedang asyiknya

Cerita Setahun Yang Lalu

Semua hal dalam kehidupan ini diciptakan berpasang-pasangan. Ketika ada hal yang membuat kamu bahagia, maka ada juga hal yang membuat kamu bersedih. Disaat ada hal yang membuat kamu begitu semangat, maka ada hal yang membuat semangatmu jatuh. Begitu juga ketika ada hal yang membuat kamu puas, maka ada hal yang akan membuat kamu kecewa. Cerita kali ini tentang momen yang membuatku puas. Sebenarnya kita tidak boleh terlalu puas. Takutnya malah jadi sombong. Tapi kali ini aku bercerita bukan untuk menyombongkan diri. Cerita ini hanya untuk berbagi padamu. Jika menurutmu bermanfaat, ambil lah yang bermanfaat itu. Tapi jika menurutmu sia-sia, jangan ambil apa pun. Salah satu momen yang paling membuat aku puas adalah ketika bisa menyelesaikan pendidikan tinggi. Hal ini memang sangat membuatku puas. Jujur, sebelum mendapatkan kepuasan itu, ada begitu banyak kekecewaan yang aku dapatkan. Mulai dari terlambat acc judul, tidak bisa naik seminar proposal sesuai target, jadwal konsul denga

Kisah Lama Yang Belum Usai

Adit menatap lumat lawan bicaranya. Terlihat mengatupkan kedua tangannya. Badannya tegak berdiri. Raut muka tegang menunggu perkataan dari seseorang yang duduk di hadapannya. "Kamu apa kabar?" Lawannya membuka percakapan terlebih dahulu. Mencoba mencairkan suasana. "Baik. Kamu gimana?" Adit melonggarkan katupan tangannya "Sangat baik" perempuan itu membentangkan kedua tangannya sambil memberikan senyuman menawannya. Mengisyaratkan Ia memang dalam kondisi yang sangat baik. "Sepertinya kamu sangat bahagia?" "Apa yang harus dikhawatirkan? Aku bahagia" jawab perempuan berjilbab ungu itu "Bahkan setelah perpisahan kita?" Tanya Adit penasaran. "Syukur lah kalau kamu bahagia. Karena aku tidak pernah bisa bahagia setelah berpisah denganmu" mimik wajah Adit berubah drastis. "Kamu masih ingatkan alasan aku minta putus waktu itu?" Perempuan itu menatap dengan tatapan yang meneduhkan. "Yang ku ta

Cerita Tentang Seorang Ryan

Image
Pada tahun 1998, seorang anak kecil berusia 6 tahun sedang belajar tentang kehidupan. Pada waktu itu, gurunya yang bernama Mrs. Prest mengatakan bahwa di dunia ini banyak orang yang sakit bahkan sekarat. Di dunia ini ada orang yang dengan mudahnya bisa mendapatkan air bersih, namun ada juga yang harus berjalan sangat jauh untuk mendapatkan air yang bahkan jauh dari kata layak. Tepatnya di Uganda, Afrika. Mendengar penjelasan tersebut, anak kecil yang bernama Ryan Hreljac itu pun tergugah hatinya untuk melakukan suatu hal membantu anak-anak di Uganda agar bisa mendapatkan air bersih. Sesampainya di rumah, Ia menceritakan kisah anak di Uganda kepada orang tuanya. Saat itu orang tuanya mengatakan bahwa Ia membutuhkan $70 untuk bisa membuat sumur. Uang $70 sangat besar bagi anak berusia 6 tahun. Ia pun berinisiatif untuk melakukan semua pekerjaan rumah. Tapi sebagai balasannya, Ia meminta bayaran dari orang tuanya untuk semua pekerjaan rumah tersebut. Orang tuanya setuju. Ia pun mulai

Kereta Yang Tertukar

Malam ini aku sedang rebahan di atas kasur tipis sambil berkhayal. Kamu udah tahu kan kalau aku suka berkhayal? Lebih tepatnya sih aku mencoba menggali memori tentang hal yang pernah membuatku tertawa begitu keras. Sebenarnya banyak cerita lucu di hidupku. Tahu lah kau, hidup ini panggung sandiwara. Jadi banyak cerita lucu yang tak pernah diduga terjadi begitu saja. Tak jarang membuat terpingkal-pingkal saat mengingatnya. Padahal mungkin saat orang lain mendengarnya jadi terdengar biasa saja. Aku punya satu cerita lucu yang membuatku tertawa kekeh. Bagi ku itu bukan hanya lucu. Tapi juga memalukan. Jadi ceritanya waktu itu aku dan beberapa saudara serta temanku pergi makan bakso. Bakso memang ajaib. Cocok untuk semua usia dan bisa dimakan dalam kondisi apa pun. Selain itu bakso juga membawa cerita tersendiri bagiku. Kembali ke warung bakso. Setelah selesai makan bakso, aku dan temanku berencana pergi ke toko pakaian untuk cuci mata. Maklum lah, di kota itu tidak ada mall. Jadi cu

Khayalan Yang Indah

Di penghujung tahun ini, Tuhan memang sedang baik-baiknya. Mencurahkan rahmat-Nya berupa hujan untuk memuaskan keinginan kaum Adam yang berkeluh kesah tentang panas. Tapi apa daya, tak sedikit juga yang malah mengutuki hujan yang tak bersalah. Ia hanya turun sesuai instruksi Sang Sutradara kehidupan. Malam ini aku tidak sedang sendirian. Sejak kamis malam, aku berada di kampung halaman. Menyapa Ibuku yang mungkin sudah rindu anaknya. Berhubung long weekend , pikirku. Meskipun sebenarnya long weekend, weekend, dan weekday , masih terlihat sama bagiku. Tak ada yang istimewa dari ketiga jenis hari itu. Di hari ke 23 tantangan menulis ini, aku diminta menceritakan tentang hal aneh yang aku lakukan ketika sendiri. Sebenarnya aku tak mengerti. Kenapa harus hal aneh? Tidak cukupkah hanya dengan "hal yang dilakukan ketika sendiri"? Kenapa harus ada kata "aneh"nya? Tak paham lah aku. Tapi, setelah mengajak otakku berpikir, aku mencoba mulai mengerti. Mungkin. Ketika s

Sebuah Cerita Tentang Seseorang

Image
Hari ini 3 Desember. Hujan masih tetap setia menemani hingga pagi. Matahari pun jadi malu-malu ingin muncul. Pada tanggal ini dua puluh tiga tahun yang lalu, seorang cucu adam keluar dari perut yang gelap untuk melihat dunia yang cerah. Seorang bayi perempuan. Bayi lucu itu diberi nama Sri Delima. Bayi yang dinantikan oleh sepasang suami istri juga keluarga lainnya. Ia tumbuh besar dengan sangat baik dan sekarang sedang berjuang mewujudkan mimpinya menjadi seorang dokter. Ia, Sri Delima yang ku kenal 5 tahun lalu, kini berusia 23 tahun. Aku dan dia dipertemukan oleh takdir di suatu kamar susun daerah Darussalam, Banda Aceh. Dulu Ia sedikit berantakan. Maksud ku, Ia tidak terlalu memperhatikan penampilannya. Namun kini Ia sudah menjadi wanita dewasa. Kata 'dewasa' mungkin menuntutnya untuk berpenampilan lebih rapi dan menarik. Ia, wanita kelahiran Aceh itu, pertama kali terlibat percakapan dengan ku saat Ia sedang memasak tempe di depan kamar kosnya. Ketika itu Ia dan seoran

Pelajaran Hidup Tersulit

Malam ini hujan kembali mengguyur kampung halamanku. Sejak matahari mengucapkan selamat tinggal pada siang, sang hujan tak berhenti menggantikan keberadaannya untuk malam. Udara pun terasa sangat sejuk. Terpaksa sesekali aku harus menyembunyikan kaki ke balik selimut. Aku suka hujan. Tapi kata para emak, main hujan bisa buat kamu demam. Tapi aku suka dengan sengaja membiarkan hujan membasahi tubuhku. Ingat dulu saat Ibuku mengantar ke sekolah naik kereta (sepeda motor) saat hujan, pasti disuruh berlindung di bawah jas hujan. Tapi aku terlalu risih untuk berdiam diri di bawah jas hujan itu dan terlalu cinta dengan air hujan, jadi lah aku sering mengintip ke luar dan sesekali menengadahkan tangan ke arah langit. Sekarang pun masih sama. Setelah hujan tidak terlalu deras, aku pun pergi ke warung dekat rumah untuk membeli barang khas wanita. Payung sih ada. Tapi aku lebih memilih membiarkan air hujan menyapa kepala hingga menembus kulit kepalaku. Tak lupa juga waktu berjalan ke arah wa

Mimpi di Tahun 2024

Waktu kamu kecil, pasti sering dapat pertanyaan tentang cita-cita. Aku juga. "Icha, kalau sudah besar mau jadi apa?" Jawabannya selalu berubah. Dari mulai spiderman, wonder woman, dokter, guru, hingga sekarang mau jadi dosen, penulis, dan peneliti. Mungkin aku terlalu plin plan? Bisa jadi. Aku ingat, dulu pernah mengikat kain sarung di leher terus manjat di tembok rumah. Sambil memajukan tangan ke depan, aku melompat ke bawah laksana sang hero. Untungnya kain itu tidak tersangkut di leher. Itu saat aku ingin jadi tokoh heroik seperti di film. Aku juga ingat pernah lomba balap sepeda sama abah ku. Waktu itu garis start di depan rumah kami. Yang mencapai finish lebih dulu akan jadi pemenangnya. Aku mengayuh sepeda dengan semangat penuh. Sepeda yang lumayan tinggi. Jika aku duduk dan menjulurkan kaki ke bawah, cuma jempol lah yang bisa menyentuh tanah. Dengan semangat menggebu dan gaya pembalap profesional, aku meliuk-liukkan sepeda ke kiri kanan. Mencoba menghalan