Posts

Showing posts from 2018

Perjalanan di 2018

Aku ingin mengenang perjalanan di tahun ini. Tahun yang ku susun dengan penuh rencana, namun aku sempat lupa ada yang Maha Perencana. Awal tahun ku habiskan dengan bekerja sebagai Marketing bimbingan belajar lokal yang ada di kampung halaman. Tak lama, kurang dari sebulan. Kemudian aku pamit untuk menunaikan misi yang sempat tertunda di tahun 2017. Iyaa, melamar S2 dan mendapatkan beasiswa. Aku berencana menuju ibu kota. Sebelum itu, aku terlebih dahulu menuju kota yang menempa pribadi ini menjadi seperti sekarang, Banda Aceh, untuk meminta surat rekomendasi dari dosen semasa kuliah. Sesampainya di bumi Serambi Mekkah, aku dikejutkan dengan kabar operasi salah satu sahabat. Geng Kutilers *halaah gaya pake geng2n 😂😂😂. Beruntung aku sedang di kota tersebut, aku jadi bisa menemani ia dan segala ceritanya di rumah sakit hihiii. Setelah semua urusan di Banda Aceh selesai, aku bertolak menuju Ibu Kota, Djakarta. Kota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri. Di Jakarta, aku dan salah seo

#15. Lembaran Baru

"Kamu ingat, di tahun 2010? Aku, Satya!" Lelaki itu menunjukkan wajah serius. 'Tahun 2010? Siapa kamu sebenarnya?' Windu bergumam dalam hati. Lama Windu menutup mulutnya. Mencoba menggali ingatan dari tahun 2010. Mencari-cari potongan wajah dalam labirin memori terdalam. Memori kelam yang dulu sempat memporak porandakan hidupnya. Disusurinya memori itu. Disapanya wajah-wajah yang kerap bersama menemani masa sulit itu. "Kamu tak bisa mengingatnya?" Satya bertanya lagi. Windu masih dengan bibirnya yang terkatup rapat. Tak menjawab pertanyaan Satya, lelaki yang katanya mengenal Windu sejak lama. "Aku menyerah. Kamu masih terasa asing bagiku," jawab Windu setelah lelah berkelana ke masa lalu. Satya tersenyum getir. Diubahnya posisi duduk hingga badannya semakin condong ke depan. Memperhatikan setiap lekuk wajah Windu, wajah yang sejak lama tak bisa dilihatnya. Windu menarik tubuhnya lalu bersandar di kursi. Ada rasa aneh saat Satya mencoba m

#14. Seseorang Dari Masa Lalu

Sesi terapi terakhir yang dijalani Windu telah memberikan banyak perubahan dalam hidupnya. Tatapan mata Windu sudah kembali bersinar. Senyumannya tak lagi terlihat palsu, karena tak ada lagi luka serta duka yang berusaha disangkal. Sore hari yang cerah, Windu berusaha menikmati waktu kesendiriannya. Ia sedang mencoba meresapi semua pembelajaran hidup yang telah dilalui. Di sudut ruang, di meja yang sama seperti beberapa waktu lalu, ia menghabiskan waktunya ditemani secangkir cappucino yang sudah sejak lama terabaikan. Masalah yang kembali menghantuinya menjadikan Windu mengabaikan hal-hal kecil yang membuatnya bahagia, seperti rasa bahagia saat menikmati secangkir cappucino favoritnya. Selain cappucino hangat miliknya, juga ada sebuah buku dengan coretan tinta yang masih segar. Sesekali ditatapnya buku yang terbuka itu sambil tersenyum. Windu baru saja merumuskan kehidupan baru yang hendak dijalaninya. Senin sore ini tak banyak yang berkunjung ke kafe. Suasana pun jauh dari kata

#13. Sebuah Pengakuan

Menggali masa lalu itu ibaratkan dengan menebar asam dan garam di atas luka. Rasanya sangat perih. Tapi juga bisa menjadi penyembuh. Masa lalu tak akan pernah lepas dari kehidupan. Masa sekarang dan masa depan setiap orang akan sangat ditentukan dengan masa lalunya. Tapi bukan sebatas apakah masa lalu yang telah dilalui itu baik atau buruk, lebih dari itu. Selain baik buruknya masa lalu, cara menyikapi masa lalu juga berperan penting bagi masa depan. Menurut Windu, ia memiliki masa lalu yang buruk. Berbagai skenario kehidupan dengan segala rasanya telah fasih dirasakan. Berbagai sesi konseling dan terapi pun telah ia lalui demi membantunya menjalani kehidupan lebih baik. "Sil, Ka, aku mau cerita sesuatu sama kalian," ucap Windu pada suatu sore di bawah rindangnya pohon. Silly dan Rizka menatap Windu tanpa berkomentar. Mereka menunggu kalimat lanjutan dari Windu. "Selama ini aku udah menyembunyikan hal besar. Aku minta maaf karena gak pernah cerita. Aku masih mengum

Menggali Masa Lalu

"Bagaimana keadaanmu?" Seorang wanita menyambut kedatangan Windu dengan senyum ramahnya. "Sedikit lebih baik," balas Windu berusaha memberikan senyum terbaiknya. "Kita sudah melewati berbagai sesi. Apa masih ada yang mengganjal di hatimu?" Wanita itu bertanya sesaat setelah melihat tatapan mata Windu yang tak sesuai dengan senyumannya. Windu terdiam. Mengunci rapat mulutnya. Ia seperti sedang berusaha memilah kata yang ingin diucapkannya. "Ada yang belum saya ceritakan!" Windu bicara sambil menatap kakinya. Kalimat yang sejak lama tersangkut di lehernya itu akhirnya mampu juga diucapkan. Butuh keberanian ekstra untuk mampu mengungkapkannya. Bahkan pertemuan pertama dengan wanita ini pun sudah sangat berat. Namun tekad kuat Windu sudah keras bagai baja. Sengsara rasanya terkepung masa lalu. Windu menarik panjang nafasnya lalu dibuang dengan sekuat tenaga. Belum ada kata yang keluar dari bibir kecilnya itu, namun bola matanya seolah berkaca

#11. Nona & Derita Windu

"Winduuuu? Ya Allah. Kamu kenapa?" Raut wajah wanita tua itu terlihat sangat cemas. Windu tak berucap sepatah kata pun. Seketika badannya tersungkur ke arah wanita yang sudah semakin renta. Neneknya semakin cemas. Berusaha sekuat tenaga menahan badannya agar tak terjatuh bersama terhempas ke lantai. Namun tulangnya tak lagi kuat. Kakinya terlalu lemah untuk tetap berdiri kokoh saat melihat cucu kesayangannya dengan kondisi menyedihkan. Entah apa yang dipikirkan Sang Nenek. Tak berapa lama seseorang berjas putih memasuki rumah Nenek, lalu menuju kamar yang ditempati Windu. Dengan sigap ia bersiap ingin memeriksa keadaan Windu. Nenek masih berdiri dengan cemas menatap nanar ke arah Windu. Anak bungsunya tak menyahut telepon. Windu tak sadarkan diri. Nenek bingung dengan keadaan yang terjadi saat itu. Dokter itu sedang berusaha memeriksa menggunakan stetoskopnya. Lalu tiba-tiba tangan Sang Dokter dicegat. Windu terbangun dan teriak sekuat tenaga. "Jangan. . . Ampuuu

#10. Pada Tahun 2010 Silam

Jika ada yang mengatakan dunia ini bagai panggung sandiwara, aku sangat setuju. Sangat banyak skenario sandiwara yang diciptakan Tuhan untuk para pemain di Bumi. Tak terkecuali Windu. Sepertinya seluruh skenario sandiwara tersebut sudah khatam dirasakannya. Sejak kecil hingga usia saat ini Windu sudah melalui pahit manis, getar getir, dan suka duka kehidupan. Meskipun dengan kehidupan yang penuh skenario, Windu selalu terlihat bahagia dengan dunianya. Keaktifannya di kelas hingga membuat semua dosen mengenalinya, ramahnya ia pada hampir semua orang, dan sekarang perilakunya semakin sempurna karena aktif sebagai relawan. Belum lagi parasnya yang menyejukkan hati. Semua itu seakan menjadikan Windu sebagai kandidat terkuat untuk dijadikan istri idaman. Banyak orang akan berpikir kehidupan yang Windu miliki sangatlah sempurna. Meskipun kita semua tahu, hal yang terlihat oleh mata belum tentu sama dengan yang terjadi sebenarnya. Pantai dan deru ombaknya yang begitu indah serta menenangk

#9. Sentuhan yang Mengeluarkan Air Mata

Kuliah pertama di hari rabu sudah usai. Ada jeda istirahat selama 2 jam untuk makan dan shalat bagi yang muslim. Windu terduduk di sudut kantin dalam kesendiriannya. Sepiring nasi yang hanya diusik sedikit itu terpinggirkan dari hadapan Windu. Tangan kirinya menopang dagu, sedangkan jemari tangan kanannya menari membuat irama ketukan di atas meja. "Wooii ngelamun aja," Silly berteriak di telinga Windu setelah lelah memanggilnya dari lamunan panjang. "Kalau siap ini aku jadi budeg, aku bakalan tuntut kamu nih," Windu kesal. "Ya elaaah. Jangan sewot dong neng cantik. Sorry deh," Silly bergelayut manja di lengan Windu. Marah Windu memudar, lalu tersenyum karena geli dengan tingkah Silly. "Nah gitu dong. Smile," Meri angkat bicara. "Windu. Kamu gak mau cerita sesuatu sama kami?" Silly melonggarkan ikatan lengannya dengan Windu setelah beberapa menit. "Cerita tentang apa?" Tanya Windu. "Tentang apa pun. Memang si

#8. Lima Puluh Menit Windu

Lima puluh menit sudah berlalu sejak Windu mulai bercerita pada wanita dewasa itu. Windu keluar dari ruangan yang sama seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya. Terlihat pancaran perasaan campur aduk dari tatapan mata Windu. Langkah gontainya semakin membuat yakin bahwa perasaannya sedang tak karuan. Disusurinya lorong itu dengan tatapan kosong sambil berusaha menyentuh tembok di sebelah kirinya. Langkahnya terseret. Sama halnya dengan telapak tangannya yang diseret menyentuh tembok. Di satu sisi, ada perasaan lega yang dirasakan Windu. Ia merasa bagai telah membuang sebongkah batu besar yang selama ini mendiami otaknya. Tapi itu belum cukup. Selama ini Windu telah menimbun banyak bongkahan batu besar di hati dan otaknya. Ia butuh lima puluh menit lagi hingga berkali-kali. Meski dengan langkah gontai dan perasaan tak karuan, Windu berhasil menuruni anak tangga dengan selamat. Hingga seseorang menghadang jalannya. Tanpa menoleh, Windu mengalihkan langkahnya ke kanan agar tidak bertabr

#7. Potongan Masa Lalu

Di sudut lorong bangunan serba putih dengan aroma khasnya terlihat Windu terbaring lemas. Selang oksigen melekat pasti di lobang hidungnya. Tak lupa juga selang infus yang meliuk-liuk menuju pergelangannya. Di ruangan berukuran 3x4 itu ada Zahra, Dewi, dan Silly yang menunggu Windu. "Winduuuu," sapa Dewi sesaat setelah melihat Windu membukakan matanya perlahan-lahan. Ia sudah mengenali suara itu, meskipun belum sepenuhnya terlihat. Windu menatap ketiga temannya, lalu tersenyum. "Kamu kenapa? Kok bisa tiba-tiba pingsan? Kami khawatir loh," Silly menunjukkan mimik sedih dan cemas akan keadaan Windu. "Aku gak papa kok. Mungkin terlalu capek. Kan tugas lagi banyak-banyaknya," Windu menjawab sambil tersenyum. Lalu ia menerawang, mencoba mengingat kronologis sebelum ia pingsan. ☆☆☆ "Dua hari yang lalu saya pingsan mendadak," ucap Windu pada seseorang di depannya. "Kenapa?" "Saya tidak tahu. Sepertinya saat itu saya baik-bai