#9. Sentuhan yang Mengeluarkan Air Mata

Kuliah pertama di hari rabu sudah usai. Ada jeda istirahat selama 2 jam untuk makan dan shalat bagi yang muslim. Windu terduduk di sudut kantin dalam kesendiriannya. Sepiring nasi yang hanya diusik sedikit itu terpinggirkan dari hadapan Windu. Tangan kirinya menopang dagu, sedangkan jemari tangan kanannya menari membuat irama ketukan di atas meja.

"Wooii ngelamun aja," Silly berteriak di telinga Windu setelah lelah memanggilnya dari lamunan panjang.

"Kalau siap ini aku jadi budeg, aku bakalan tuntut kamu nih," Windu kesal.

"Ya elaaah. Jangan sewot dong neng cantik. Sorry deh," Silly bergelayut manja di lengan Windu. Marah Windu memudar, lalu tersenyum karena geli dengan tingkah Silly.

"Nah gitu dong. Smile," Meri angkat bicara.

"Windu. Kamu gak mau cerita sesuatu sama kami?" Silly melonggarkan ikatan lengannya dengan Windu setelah beberapa menit.

"Cerita tentang apa?" Tanya Windu.

"Tentang apa pun. Memang sih, kita belum berteman lama hingga bertahun atau berpuluh tahun. Tapi, kualitas pertemanan itu bukan dinilai dari lama atau tidaknya, kan?" Silly berhenti. Ia memperhatikan gerak gerik Windu. Di sebelahnya, Windu terdiam tak bergerak sedikit pun.

"Indeed. Aku setuju dengan yang kamu bilang. Terus?" Windu masih berusaha mencerna arah pembicaraan Silly.
Silly tak langsung menjawab pertanyaan Windu. Diliriknya Meri yang sejak tadi diam. Bermaksud turut bicara tentang hal yang menjadi tanda tanya besar di kepala mereka. Meri menatap balik. Menangkap dengan baik sinyal yang diberikan Silly.

"Win, seminggu yang lalu kamu pingsan mendadak. Banyak yang lihat kalau sebelum pingsan kamu sedikit histeris. Kamu bertingkah tidak seperti biasanya. Kamu memukul-mukul kepalamu. Apa itu benar?" Meri terlihat bicara dengan hati-hati. Ia takut akan semakin memperburuk keadaan.

Windu tak menjawab. Ia melihat satu persatu wajah temannya. Silly dan Meri menunjukkan wajah serius. Menanti dengan sabar jawaban jujur dari Windu. Suasana jadi semakin gerah. Angin seakan tak mampu menembus padatnya kerumunan mahasiswa yang sibuk memuaskan hasrat perutnya. Gelak tawa bercampur aduk, membuat telinga tak kan bisa mendengar percakapan meja sebelah. Terlihat bibir mungil Windu sedikit bergerak, namun tidak terdengar sepatah kata pun. Bagai ada penghalang yang mengunci bibirnya.

Meri menangkap tingkah Windu. Ia bisa melihat gerakan bibir Windu yang tak bersuara itu. Seakan mengerti dengan tingkah laku Windu, ia menggapai tangan teman yang duduk dihadapannya itu. Digenggam erat dengan kedua telapak tangannya.

"Kalau menceritakannya seberat itu, kami bisa mengerti Win. Kamu juga harus pahami, kami selalu siap mendengar ceritamu kapan pun," ucap Meri dengan tenang diikuti anggukan kepala Silly.

Windu terdiam. Ia bersembunyi dibalik tunduk wajahnya. Mencoba sekuat tenaga menahan air mata yang mendesak keluar. Silly mengusap-usap pundaknya. Tak kuasa lagi, air mata Windu pun langsung terjatuh. Sentuhan Silly membuat air mata Windu berhasil merobohkan pertahanan yang ia bangun sejak lama. Saat ada orang lain menumpahkan cerita sedihnya dengan berusaha menyembunyikan tangis, sedikit sentuhan yang diberikan pendengar bisa langsung mengalirkan air mata. Sentuhan dan pelukan bisa lebih sangat berarti dari kata-kata.

Silly dan Meri saling tatap. Seketika mereka semakin yakin bahwa Windu memang sedang menyimpan masalah besar.

"Kita ke kosan aku saja, yuk!" Ajak Silly.

Ketiga teman itu beranjak dari tempat yang dipenuhi orang dan riuh suara campur aduk, menuju kosan Silly yang berada tak jauh dari kampus.

☆☆☆


Tanjungbalai, 06 Januari 2018
Ditulis untuk memenuhi #30DaysWritingChallenge #2

☆☆☆

Baca episode sebelumnya di sini:
Episode #1: Selimut Tua
Episode #2: Peramal
Episode #3: Pengamat
Episode #4: Jurnal Harian
Episode #5: Ruang di Ujung Lorong
Episode #6: Hujan dan Sebuah Memori
Episode #7: Potongan Masa Lalu
Episode #8: Lima Puluh Menit Windu

Comments

Popular posts from this blog

Eksotisme Pulau Banyak

Suka Duka Menjadi Asisten Peneliti

Dear Zindagi