Menggali Masa Lalu

"Bagaimana keadaanmu?" Seorang wanita menyambut kedatangan Windu dengan senyum ramahnya.
"Sedikit lebih baik," balas Windu berusaha memberikan senyum terbaiknya.
"Kita sudah melewati berbagai sesi. Apa masih ada yang mengganjal di hatimu?" Wanita itu bertanya sesaat setelah melihat tatapan mata Windu yang tak sesuai dengan senyumannya.
Windu terdiam. Mengunci rapat mulutnya. Ia seperti sedang berusaha memilah kata yang ingin diucapkannya.
"Ada yang belum saya ceritakan!" Windu bicara sambil menatap kakinya.

Kalimat yang sejak lama tersangkut di lehernya itu akhirnya mampu juga diucapkan. Butuh keberanian ekstra untuk mampu mengungkapkannya. Bahkan pertemuan pertama dengan wanita ini pun sudah sangat berat. Namun tekad kuat Windu sudah keras bagai baja. Sengsara rasanya terkepung masa lalu.

Windu menarik panjang nafasnya lalu dibuang dengan sekuat tenaga. Belum ada kata yang keluar dari bibir kecilnya itu, namun bola matanya seolah berkaca-kaca. Dilemparkan pandangannya ke dinding ruangan. Menyapu semua benda yang ada di dalamnya. Saat ada bulir-bulir yang mendesak keluar, Windu langsung menengadahkan kepalanya. Berusaha agar tak ada air mata yang tumpah.

"Tenangkan dulu dirimu. Jika masih lelah, tidur lah dulu," wanita itu berkata sambil mengarahkan pandangannya ke kursi panjang yang tersedia di dalam ruangan. Windu menggeleng.

"Aku merasa hina!" Windu membuka kalimat pertamanya.

"Kamu merasa hina? Apa yang membuatmu merasa begitu?" Tanya wanita di depannya dengan nada teratur.

"Aku kotor. Aku sudah tidak suci lagi. Aku gak pantas mendapatkan laki-laki baik," Windu meninggikan nada bicaranya. Wanita itu diam. Ia menunggu Windu menyelesaikan ceritanya.

"Aku gak bisa menyakiti laki-laki yang aku cintai. Saat aku mulai mencintai laki-laki yang aku pilih, saat itu juga rasa malu menggerogotiku. Bahkan terkadang aku jijik."

Windu berhenti sesaat. Ia menarik nafas panjang dan menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sayup terdengar isak tangisnya. Wanita itu membiarkan Windu menangis sambil berusaha mendekatkan kotak tisu ke hadapan Windu.

"Bisa kita lanjut?" Wanita itu berucap setelah melihat Windu meraih lembaran tisu yang ada di hadapannya dan tak lagi menutup wajahnya. Windu menganggukkan kepala.

"Jadi, kamu merasa dirimu hina, kotor, bahkan jijik dengan diri sendiri?" Wanita itu membuat kesimpulan sementara atas apa yang telah disampaikan Windu. Windu pun hanya menganggukkan kepalanya.

"Kalau boleh tahu, kira-kira kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?" Tanyanya pada Windu.

"Di salah satu pertemuan kita, kamu pernah mengatakan tentang ayah, ibu, dan nenekmu. Mereka sangat mencintaimu, 'kan?" Ia melanjutkan, diikuti dengan anggukan kepala Windu. "Itu tandanya kamu sangat berarti bagi mereka. Tidak mungkin seseorang yang kotor, hina, dan menjijikkan bisa memiliki tempat istimewa di hati orang lain." Wanita itu menatap wajah Windu yang masih tertunduk.

"Tapi aku tidak pantas lagi untuk dicintai. Aku bukan wanita suci lagi," Windu menyangkal kalimat wanita itu.

"Memangnya menurut kamu, bagaimana wanita suci itu? Hingga kamu berpikir bahwa kamu tak lagi suci?" Wanita itu lumat menatap Windu yang terlihat sedang mengerutkan dahi saat mendengar pertanyaan itu. Windu tak menjawab. Ia mencoba berpikir. Mencari-cari jawaban atas hal yang membuatnya gelisah.

"Aku tak lagi perawan. Maka aku tak suci lagi!" Windu semakin menunduk. Ia terlihat seperti ingin menyembunyikan wajahnya atau bahkan membuang wajahnya ke tempat terpelosok hingga tak kan ada yang bisa menemukannya. Si gadis yang tak lagi gadis.

"Seseorang telah merenggutnya secara paksa. Aku benci orang itu. Aku benci diriku sendiri. Aku benci kehidupanku yang tak pernah adil."

"Ibu tahu, saat kecil aku kehilangan mama. Aku pun tinggal sama papa. Tapi Tuhan mengambilnya. Aku penyebabnya. Lalu nenek. Aku tinggal bersama nenek saat papaku tak ada lagi. Tapi apa? Tuhan juga meminta nenek dariku. Itu juga karena masalahku. Aku tak berguna!" Teriak Windu pada wanita itu.

"Apa lagi yang bisa kubanggakan? Aku tak suci lagi dan tak punya siapapun. Aku tak sanggup angkat wajah saat ada yang mengatakan mencintaiku."

"Mereka belum mengenalku. Jika iya, mungkin tak kan ada yang mau melihatku lagi," kalimatnya terbata-bata. Air mata Windu mengalir deras.

"Kamu katakan 'mungkin' bukan? Mungkin tak kan ada yang mau melihatmu. Semua itu masih kemungkinan. Kamu belum tahu kebenarannya, 'kan?" Wanita itu membuka mulut.

"Kamu tidak akan pernah benar-benar tahu jika kamu belum melakukannya. Semua itu hanya ada di kepalamu. Kamu percaya, 'kan?" Wanita itu mengusap kepalan tangan Windu. Ia terlihat mencoba melonggarkan kepalan tangan yang sudah mengeras sejak awal pertemuan.

Lagi. Windu menarik panjang nafasnya. Sudah berlembar-lembar pula tisu yang dihabiskannya. Berkali-kali pula ia mengernyitkan dahi dan tak jarang mengurut kepalanya. Penggalian masa lalu di sesi ini menghabiskan banyak energi Windu, juga menguras hatinya.

☆☆☆

Tanjungbalai, 11 Januari 2018
Ditulis untuk memenuhi #30DaysWritingChallenge #2

☆☆☆

Comments

Popular posts from this blog

Eksotisme Pulau Banyak

Suka Duka Menjadi Asisten Peneliti

Dear Zindagi