#8. Lima Puluh Menit Windu

Lima puluh menit sudah berlalu sejak Windu mulai bercerita pada wanita dewasa itu. Windu keluar dari ruangan yang sama seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya. Terlihat pancaran perasaan campur aduk dari tatapan mata Windu. Langkah gontainya semakin membuat yakin bahwa perasaannya sedang tak karuan. Disusurinya lorong itu dengan tatapan kosong sambil berusaha menyentuh tembok di sebelah kirinya. Langkahnya terseret. Sama halnya dengan telapak tangannya yang diseret menyentuh tembok.

Di satu sisi, ada perasaan lega yang dirasakan Windu. Ia merasa bagai telah membuang sebongkah batu besar yang selama ini mendiami otaknya. Tapi itu belum cukup. Selama ini Windu telah menimbun banyak bongkahan batu besar di hati dan otaknya. Ia butuh lima puluh menit lagi hingga berkali-kali.

Meski dengan langkah gontai dan perasaan tak karuan, Windu berhasil menuruni anak tangga dengan selamat. Hingga seseorang menghadang jalannya. Tanpa menoleh, Windu mengalihkan langkahnya ke kanan agar tidak bertabrakan dengan orang di depannya. Langkah kaki Windu ke kanan juga diiringi langkah kaki orang itu ke kiri. Masih dengan keadaan menunduk, Windu kembali ke kiri. Orang di depannya juga mengikuti. Seketika Windu kesal dengan pengguna celana hitam itu. Dengan perasaan malas, Windu menaikkan pandangannya. Bermaksud ingin menumpahkan perasaan yang ada di hatinya.

Windu menatap seseorang di depannya. Terlihat ia mengernyitkan dahi. Ternyata orang itu tak begitu asing baginya.

"Hai. Kamu masih ingat aku?" Seseorang di depannya menyapa sambil memperlihatkan susunan giginya yang berjejer rapi. Windu tak bergeming. Masih mencoba pergi dari hadapan orang di depannya.

"Kamu kuliah di sini ternyata," ucapnya lagi sambil melihat ke arah Windu.

"Iya. Aku kuliah di sini. Aku tinggal di Pattimura. Aku tidak sedang ingin diganggu," jawab Windu dengan nada tinggi.

"Sedang tidak ingin diganggu? Berarti ada masanya kamu ingin diganggu dong?" Lelaki berbaju flanel itu bermain dengan kata-katanya. "Kamu masih ingat aku kan?"

"Aku ingat. Kamu, Satya Nugraha si penyelamat kupu-kupu di cafe pada hari Sabtu sore dua minggu lalu. Puas?" Windu ketus.

"Aku juga peramal. Kamu ingat kan? Aku berharap suatu saat kamu sudi bercerita masalahmu denganku. Kali ini aku sedang berharap bukan meramal."

Satya pun mempersilakan Windu pergi melaluinya. Windu tak langsung bergerak. Ia menatap lumat wajah Satya. Mencermati satu persatu raut wajahnya. Hidung mancungnya, bibirnya yang sedikit kecil, potongan rambutnya, matanya yang agak sipit. Ia mencoba menghapal dengan pasti bentuk wajah lelaki yang mengusiknya di saat yang tidak tepat.

Entah untuk apa.
Mungkin suatu saat ia ingin membalas perbuatan lelaki itu. Satya yang berhasil membuatnya terpana saat menyelamatkan kupu-kupu dan kini Windu juga harus mengakui bahwa Satya juga berhasil membuat perasaannya semakin bercampur aduk.

'Apa hak dia mau tahu tentang masalahku? Cuih,' Windu bergumam dalam hatinya.
'Bahkan Zahra, Silly, dan Meri pun tak kuceritakan.'
'Ada suatu cerita yang bisa kita bagi untuk satu orang saja. Ada cerita lain bisa kita bagi untuk orang lain pula. Ada cerita yang bahkan tak bisa dibagi dengan siapa pun. Dan aku punya cerita yang kubagi karena alasan tertentu hanya pada wanita dewasa itu.'


☆☆☆

Tanjungbalai, 05 Januari 2018
Ditulis untuk memenuhi #30DaysWritingChallenge #2

☆☆☆

Baca episode sebelumnya di sini:
Episode #1: Selimut Tua
Episode #2: Peramal
Episode #3: Pengamat
Episode #4: Jurnal Harian
Episode #5: Ruang di Ujung Lorong
Episode #6: Hujan dan Sebuah Memori
Episode #7: Potongan Masa Lalu

Comments

Popular posts from this blog

Eksotisme Pulau Banyak

Suka Duka Menjadi Asisten Peneliti

Dear Zindagi