#13. Sebuah Pengakuan

Menggali masa lalu itu ibaratkan dengan menebar asam dan garam di atas luka. Rasanya sangat perih. Tapi juga bisa menjadi penyembuh. Masa lalu tak akan pernah lepas dari kehidupan. Masa sekarang dan masa depan setiap orang akan sangat ditentukan dengan masa lalunya. Tapi bukan sebatas apakah masa lalu yang telah dilalui itu baik atau buruk, lebih dari itu. Selain baik buruknya masa lalu, cara menyikapi masa lalu juga berperan penting bagi masa depan.

Menurut Windu, ia memiliki masa lalu yang buruk. Berbagai skenario kehidupan dengan segala rasanya telah fasih dirasakan. Berbagai sesi konseling dan terapi pun telah ia lalui demi membantunya menjalani kehidupan lebih baik.

"Sil, Ka, aku mau cerita sesuatu sama kalian," ucap Windu pada suatu sore di bawah rindangnya pohon. Silly dan Rizka menatap Windu tanpa berkomentar. Mereka menunggu kalimat lanjutan dari Windu.

"Selama ini aku udah menyembunyikan hal besar. Aku minta maaf karena gak pernah cerita. Aku masih mengumpulkan keberanian untuk cerita semuanya."
Windu menatap lurus ke depan. Dibiarkannya angin sore ini menyapu manja jilbab merah yang menghiasi kepala.

"Rasanya berat sekali. Aku juga bingung harus gimana ceritainnya," Windu menitikkan air mata. Tak disekanya sedikit pun. Ada lelah di hati Windu saat mencoba menyembunyikan air mata itu. Maka kini dibiarkannya mengalir begitu saja.

"Cerita lah apa adanya. Ceritakan saat kamu sudah sanggup bercerita. Kami tak akan memaksa," Silly berucap sambil mengusap air mata Windu dengan ibu jarinya. Lalu diturunkannya tangan itu menuju telapak tangan Windu. Silly menggenggam dengan erat. Berusaha merasakan kesedihan yang tersimpan di hati Windu.

"Kalian pasti bertanya-tanya kenapa aku sering ke ruangan Bu Fuzi," Windu menatap satu persatu wajah temannya. "Sebenarnya aku lagi dalam sesi terapi. Aku punya masalah sangat besar dalam hidup."

"Maaf, aku menyembunyikan hal ini dari kalian," tatap Windu penuh harap.

"Bukan kamu yang harus minta maaf, Win. Kami lah yang belum bisa jadi teman terbaikmu. Bahkan kamu belum mempercayai kami untuk mengatakan hal ini. Artinya kami telah gagal jadi teman yang baik untukmu." Rizka mengungkapkan kekecewaannya pada diri sendiri saat melihat air mata yang tumpah dari kedua mata Windu.

"Bukan Ka."
"Aku hanya terlalu takut. Aku takut kalian akan menganggapku gila jika kalian tahu aku ikut terapi. Aku takut kalian menjauhiku perlahan-lahan. Aku gak mau kehilangan kalian."
Tangis Windu semakin menjadi. Udara di halaman kosan Windu pun semakin terasa sejuk.

"Windu, kamu lupa? Kita ini mahasiswa psikologi. Kita sama-sama memperjuangkan kesehatan jiwa orang lain. Kita membantu orang lain menyadari masalah kesehatan jiwanya. Jadi, tidak mungkin hal seperti itu bisa memisahkan kamu dan aku, memisahkan kita." Rizka menggenggam tangan kanan Windu.

"Semua orang punya masalah, Win. Kamu, aku, Rizka, siapa pun itu pasti ada masalah dalam hidupnya. Besar bagi kamu, belum tentu besar bagi orang lain. Begitu juga sebaliknya. "

"Kamu ingatkan pelajaran kita? Satu-satunya yang bisa menyelesaikan masalah itu ya diri kita sendiri. Psikolog itu hanya sebagai penyadar untuk kita, karena terkadang otak kita sudah 'mati' hingga perlu diberikan penyadar."

"Kamu sudah mengambil langkah yang tepat. Percaya lah, kami selalu mendukungmu. Apapun masalahmu itu, kami akan selalu mendukung penyembuhanmu." Ucap Silly hangat sambil memeluk Windu dan Rizka.

"Terima kasih guys. Sekarang aku udah lega banget. Ternyata benar, pikiran negatif lah yang selama ini menghalangi jalan kita untuk maju," Windu membalas pelukan erat kedua temannya itu.

"Kalian gak penasaran sama masalah aku?" Windu melepas pelukan teman-temannya.

"Penasaran sih iya. Tapi itu gak penting. Lebih penting untuk terus dukung kamu biar tetap konsisten ikut terapi," jawab Silly.

"Iya, mudah-mudahan aku bisa setia. Masa laluku terlalu kelam. Aku merasa jadi orang terburuk dan terhina. Aku merasa gak pernah pantas dapetin cinta dari kalian, juga dari laki-laki yang mencintaiku." Diusapnya air mata yang masih mengalir itu menggunakan ujung lengan baju.

"Gak ada manusia yang sempurna, Win. Semua punya dosa. Hanya Tuhan yang berhak memberi label manusia terhina dan terburuk yang kamu maksud itu."
Rizka berkata bijak.



Menjadi mahasiswa psikologi membuat Windu semakin percaya bahwa banyak orang yang akan menganggap 'gila' jika bertemu dengan psikolog. Begitulah yang diyakini Windu. Orang akan percaya diri dan tidak malu sedikitpun bercerita pada orang lain bahwa ia baru bertemu dengan dokter jantung. Tapi, orang akan memandang 'aneh' jika kita mendeklarasikan diri sedang stress dan butuh bantuan profesional seperti psikolog atau psikiater. Hal ini lah yang membuat Windu malu serta enggan bercerita tentang terapi yang dijalaninya, meski bercerita ke sesama mahasiswa psikologi. Masih ada stigma negatif tentang kesehatan jiwa yang melekat erat di masyarakat.

Ketiga teman itu terlihat saling merangkul. Setelah mengumpulkan keberanian dengan waktu yang cukup lama, akhirnya Windu mampu untuk jujur mengatakan tentang pengobatan yang sedang dijalaninya. Perlahan, satu persatu bongkahan batu raksasa mulai diangkat dari hatinya. Bibir mungilnya kembali merekah setelah sekian lama. Sinar matanya pun perlahan telah memancarkan sesuatu yang berbeda.

'Terima kasih Tuhan karena telah mengirimkan mereka dalam hidupku. Bantu aku menjaga hubungan ini.' Windu bergumam dalam hati, bulir air mata pun turut megiringi doa Windu.

☆☆☆

Tanjungbalai, 12 Januari 2018.
Ditulis untuk memenuhi #30DaysWritingChallenge #2

☆☆☆

Comments

Popular posts from this blog

Eksotisme Pulau Banyak

Suka Duka Menjadi Asisten Peneliti

Dear Zindagi