#10. Pada Tahun 2010 Silam

Jika ada yang mengatakan dunia ini bagai panggung sandiwara, aku sangat setuju. Sangat banyak skenario sandiwara yang diciptakan Tuhan untuk para pemain di Bumi. Tak terkecuali Windu. Sepertinya seluruh skenario sandiwara tersebut sudah khatam dirasakannya. Sejak kecil hingga usia saat ini Windu sudah melalui pahit manis, getar getir, dan suka duka kehidupan.

Meskipun dengan kehidupan yang penuh skenario, Windu selalu terlihat bahagia dengan dunianya. Keaktifannya di kelas hingga membuat semua dosen mengenalinya, ramahnya ia pada hampir semua orang, dan sekarang perilakunya semakin sempurna karena aktif sebagai relawan. Belum lagi parasnya yang menyejukkan hati. Semua itu seakan menjadikan Windu sebagai kandidat terkuat untuk dijadikan istri idaman. Banyak orang akan berpikir kehidupan yang Windu miliki sangatlah sempurna. Meskipun kita semua tahu, hal yang terlihat oleh mata belum tentu sama dengan yang terjadi sebenarnya.

Pantai dan deru ombaknya yang begitu indah serta menenangkan bagi kebanyakan orang justru pernah menjadi hal menakutkan bagi Windu. Mobil hitam yang seharusnya bisa dikendarai dengan nyaman karena bebas dari sengatan matahari malah jadi momok mengerikan saat Windu mencoba membayangkannya. Sesekali hujan juga bisa membawa Windu memperburuk keadaannya. Hingga suara dentuman yang sangat keras kerap kali membuat Windu menggigil. Begitu banyak hal yang ditakuti Windu.

Semula kesedihan dan ketakutan Windu dianggap biasa saja. Windu pun tak merasa ketakutan itu suatu hal yang perlu diperhatikan. Setidaknya ia masih mendapatkan kasih sayang dari keluarga besarnya. Ia masih bisa bermanja dengan nenek yang selalu membuatkan susu sebelum Windu tidur. Ia juga sering diperlakukan istimewa oleh pamannya, adik Ayahnya. Tinggal serumah dengan nenek dan paman membuat Windu tak merasa kekurangan sedikit pun.

Waktu itu Sabtu ke tiga di bulan terakhir pada tahun 2010. Windu masih sangat menggemaskan. Kulit kuning langsatnya nampak indah dibalut pakaian serba pink. Rambutnya dikucir dua. Nenek Windu memang suka mempreteli model rambut cucunya itu. Rencana berlibur sudah tersusun rapi. Pamannya yang sudah bagai pengganti ayah buat Windu berjanji akan membawanya berlibur ke tempat yang menyenangkan dan akan menjadi liburan terindah yang dilalui Windu.

Windu dan paman akhirnya hanya pergi berdua. Nenek enggan ikut karena merasa tidak lagi kuat untuk diajak liburan dengan berkelana. Bahkan rayuan Windu pun tak menggugurkan niat Nenek. Dengan berat hati, Windu terpaksa meninggalkan neneknya. Nenek mengantarkan Windu menuju mobil, tak lupa juga menitipkan Windu pada anak bungsunya tersebut.

Perjalanan liburan dimulai.

"Kita liburan ke mana sih, kasi tahu dong Yah," rengek Windu pada paman yang dipanggil dengan sebutan ayah.

"Ada deh. Kamu percayain aja semua sama Ayah. Tidur aja. Bangun-bangun kita ntar udah mau nyampek," ucap pamannya diikuti dengan sapuan di kepala Windu.

"Okeee deh!" Jawab Windu dengan nada penuh semangat.

Hari Minggu di bulan dan pada tahun yang sama.

Seorang gadis belia menggemaskan terlihat awut-awutan. Ia berusaha mencapai gagang pintu. Menekan tombol sebanyak-banyaknya agar segera terdengar oleh empunya rumah.

"Winduuuu? Ya Allah. Kamu kenapa?" Seketika nenaknya menangkap tubuh Windu yang terjatuh lemas.

☆☆☆

Tanjungbalai, 07 Januari 2018
Ditulis untuk memenuhi #30DaysWritingChallenge #2


☆☆☆

Baca episode sebelumnya di sini:
Episode #1: Selimut Tua
Episode #2: Peramal
Episode #3: Pengamat
Episode #4: Jurnal Harian
Episode #5: Ruang di Ujung Lorong
Episode #6: Hujan dan Sebuah Memori
Episode #7: Potongan Masa Lalu
Episode #8: Lima Puluh Menit Windu
Episode #9: Sentuhan yang Mengeluarkan Air Mata

Comments

Popular posts from this blog

Eksotisme Pulau Banyak

Suka Duka Menjadi Asisten Peneliti

Dear Zindagi