#15. Lembaran Baru

"Kamu ingat, di tahun 2010? Aku, Satya!" Lelaki itu menunjukkan wajah serius.

'Tahun 2010? Siapa kamu sebenarnya?' Windu bergumam dalam hati.

Lama Windu menutup mulutnya. Mencoba menggali ingatan dari tahun 2010. Mencari-cari potongan wajah dalam labirin memori terdalam. Memori kelam yang dulu sempat memporak porandakan hidupnya. Disusurinya memori itu. Disapanya wajah-wajah yang kerap bersama menemani masa sulit itu.

"Kamu tak bisa mengingatnya?" Satya bertanya lagi. Windu masih dengan bibirnya yang terkatup rapat. Tak menjawab pertanyaan Satya, lelaki yang katanya mengenal Windu sejak lama.

"Aku menyerah. Kamu masih terasa asing bagiku," jawab Windu setelah lelah berkelana ke masa lalu.

Satya tersenyum getir. Diubahnya posisi duduk hingga badannya semakin condong ke depan. Memperhatikan setiap lekuk wajah Windu, wajah yang sejak lama tak bisa dilihatnya. Windu menarik tubuhnya lalu bersandar di kursi. Ada rasa aneh saat Satya mencoba mendekatkan wajahnya ke arah Windu.

"Kamu ingat ini?" Satya menunjukkan sebuah benda berwarna merah. Windu memperhatikan benda itu dengan seksama. Lumat ditatapnya.

"Ini? Kok kamu bisa punya benda ini?" Windu terbelalak. Langsung diambilnya benda itu dari tangan Satya.

"Kamu yang memberinya padaku. Dulu, di tahun 2010. Kamu belum juga ingat?"

Windu kembali diam. Ditatanya posisi duduk agar bisa lebih santai berbicara dengan Satya. Kembali disusurinya masa lalu itu. Mengutip potongan masa lalu. Berusaha menyatukan potongan yang berserakan. Terlintas wajah mama, papa, nenek, paman, Nona, bu Fuzi, dan. . ..

"Kamu?" Mata Windu terbuka lebar. Ditatapnya Satya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Seolah tak percaya dengan yang dilihatnya.

"Kenapa aku?" Satya membalas sambil tersenyum. Ia seperti menangkap sinyal bahwa Windu sudah mulai mengenalinya.

"Anugrah 'kan? Kamu benar-benar Anugrah?" Pertanyaan Windu mendapat balasan senyum tipis dari Satya.

"Akhirnya kamu ingat juga. Aku sedih karena sejak awal kamu mengabaikanku."

"Ya Tuhan. Satya? Anugrah? Namamu kan Satya Nugraha?" Masih tak percaya dengan lelaki di hadapannya itu.

"Iya, panggilan kecilku Anugrah. Namaku Satya Nugraha. Ini KTP-ku kalau kamu gak percaya," Satya mengeluarkan dompetnya dari saku celana.

"Aku percaya. Kamu memang Anugrah," Windu menolak tawaran Satya sambil melihat ke arah benda merah yang ada di genggamannya. Benda itu seolah sudah jadi cukup bukti kalau lelaki berhidung mancung di hadapannya itu memang Anugrah.

☆☆☆

Di suatu ruang dalam gedung berlantai tiga. Windu terduduk sendirian. Tatapan matanya kosong. Pakaiannya rapi, tapi ada cahaya yang redup hingga membuatnya terlihat awut-awutan.

"Windu, ayo kita masuk," Nona datang dari arah jarum jam angka 10. Langkah kaki Nona diiringi langkah gontai Windu. Ini ketiga kalinya Windu memasuki ruangan ini, namun masih terasa asing. Ia berusaha bersembunyi dibalik tubuh Nona.

"Hai Windu, kamu apa kabar?" Bu Fuzi menyambut kedatangan Windu dengan tatapan hangatnya.

"Windu, kamu tenang saja ya. Kakak akan berusaha melakukan yang terbaik. Sekarang, kamu ceritakan semuanya pada Ibu Fuzi. Beliau juga akan membantumu," Nona mencoba menanamkan rasa percaya pada diri Windu. "Kakak nunggu di luar ya," ucap Nona sambil berlalu dari hadapan Windu.

Nona meninggalkan Windu dalam ruangan berukuran 2x3 itu, lalu menuju meja yang terletak di sebelah selatan ruang.

"Gimana kelanjutan kasus Windu?" Nona bertanya pada lelaki di hadapannya yang sedang duduk dibelakang meja. Di meja tersebut terpampang sebuah benda yang bertuliskan 'Pengacara'. Di sebelah meja itu ada papan tulis putih yang bertuliskan nama Windu, juga nama pengacara yang saat ini sedang berbicara dengan Nona.

Setelah kepergian nenek, Nona berusaha sekuat tenaga untuk membantu menuntaskan kasus yang menimpa Windu. Nona meminta bantuan salah satu lembaga pemerintahan yang menaungi masalah perempuan dan anak di negara ini. Sejak saat itu pula, Windu dipindahkan ke rumah aman dengan harapan ia mendapatkan rasa aman dan nyaman meski dengan masalah yang baru dialaminya.

☆☆☆

"Untungnya kita dipertemukan saat acara camp dari kantor itu. Berkat kamu, aku jadi lebih semangat menjalani hidup Win," Satya bicara.

Windu tetap diam.

"Ternyata aku gak sendiri, banyak anak-anak lain yang senasib dengan aku," lanjutnya.

"Karena itu, sapu tangan yang kamu kasi ke aku waktu aku nangis di pojokan ruang masih aku simpan dan bawa kemana pun. Sapu tangan merah itu yang membuatku terus mengingat perjuangan hidup yang sudah kulalui." Satya berkaca-kaca.

"Maaf, aku hampir melupakanmu, Nug."

"Yang penting sekarang kamu sudah ingat aku. Aku tak pernah lupa raut wajahmu, Win. Kamu semakin cantik."

Windu tersipu. Pipinya terlihat memerah.

"Kelak, jadilah psikolog hebat seperti Bu Fuzi. Dia pahlawan bagiku, karena itu aku masih sering mengunjunginya. Kamu ingat saat kita jumpa di kampus 'kan?" Satya melipat tangannya di atas meja.

"Hmm... Sebanyak itu perjumpaan kita, kenapa aku tak bisa mengenalimu ya?" Windu sedikit tertawa.

"Bu Fuzi memang hebat, Nug. Dia panutanku," sambung Windu.

"Kamu masih ikut sesi pengobatan ya?" Tanya Satya. Seketika Windu terdiam. Raut wajah Satya berubah. Ia takut pertanyaannya merusak suasana yang sedang menuju senja.

"Lebih tepatnya, aku ikut terapi lagi," Windu menjawab.

"Kamu pasti bisa melewatinya Win. Percaya lah. Kalau kamu tidak percaya pada dirimu sendiri, siapa lagi? Itu yang membuatku bisa bangkit seperti sekarang." Satya membentangkan tangannya. Seolah ada rasa puas akan kemajuan yang didapatnya.

"Btw, tempat ini jadi favoritku bukan semata untuk ngedekatin kamu loh. Tapi kafe ini memang milikku."

"Wooow. Hebat kamu! Jangan sombong, aku bakalan nyusul kesuksesanmu," Windu menepuk punggung tangan Satya. Mereka tertawa.

"Aku sudah memutuskan memulai lembaran baru, Nug," Windu berucap sambil memperlihatkan buku yang sejak tadi ada di hadapannya.

"Harus dong. Mulai sekarang aku akan selalu mendukungmu untuk mendapatkan yang terbaik. Aku harap, ada aku dalam lembaran baru itu." Satya mantap. Windu menatap wajah tampan Satya, pipinya merona, lalu ia tersenyum.

☆☆☆

The End.

☆☆☆

Tanjungbalai, 12 Januari 2018
Ditulis untuk memenuhi #30DaysWritingChallenge #2

☆☆☆

Baca episode sebelumnya di sini:
Episode #1: Selimut Tua
Episode #2: Peramal
Episode #3: Pengamat
Episode #4: Jurnal Harian
Episode #5: Ruang di Ujung Lorong
Episode #6: Hujan dan Sebuah Memori
Episode #7: Potongan Masa Lalu
Episode #8: Lima Puluh Menit Windu
Episode #9: Sentuhan yang Mengeluarkan Air Mata
Episode #10. Pada Tahun 2010 Silam
Episode #11: Nona dan Derita Windu
Episode #12: Menggali Masa Lalu
Episode #13: Sebuah Pengungkapan
Episode #14: Seseorang Dari Masa Lalu

Comments

Popular posts from this blog

Eksotisme Pulau Banyak

Suka Duka Menjadi Asisten Peneliti

Dear Zindagi