#6. Hujan dan Sebuah Memori

Beberapa jam yang lalu matahari bersinar sangat cerah. Windu sempat melihat telepon genggamnya untuk memastikan suhu saat itu. Tertera di layar angka 32 sebagai perhitungan suhu. Cuaca hari ini cukup jadi alasan untuk bermalas-malasan di ruang kelas. Tanpa diduga, hujan datang. Mengguyur bumi dengan sangat deras. Terlihat orang berlarian mencari tempat untuk berteduh. Beberapa diantaranya bahkan mengutuk langit karena telah menurunkan hujan hingga membuat baju kesayangan basah kuyup. Cuaca memang sangat sulit untuk ditebak.

Windu terduduk di depan ruang kelas. Matanya menatap lurus ke depan. Menerawang jauh ke masa yang menyimpan berjuta memori. Hujan memang suka membawa pikiran berkelana ke ruang memori. Hujan juga yang membuat Windu punya memori unik.

"Cantiiiiik. Ayo masuk! Hujan nih," seorang berteriak dari dalam rumah sambil menggerakkan tangannya. Isyarat agar lawan bicaranya menuruti perintah. Namun lawannya tak bergeming. Tak menghiraukan perkataan lelaki bertubuh besar itu. Lelaki tadi mengulang perkataannya. Kali ini lebih keras. Agar lebih dapat didengar.

"Kakak mau mandi hujan," jawabnya tegas. Si Cantik enggan menurut. Terlihat wajahnya sangat ceria. Berputar-putar mengitari taman bunga mawar yang sedang merekahnya. Sesekali menirukan gaya penari profesional di atas panggung. Ia menari dengan percaya diri. Disaksikan hujan dan semesta.

Setelah itu ia mengambil ranting pohon yang tergeletak di tanah. Digenggamnya erat lalu didekatkan ke mulutnya yang mungil. Ia berteriak sambil menggerak-gerakkan tangan kanannya. Menodongkan jari telunjuk secara serampangan. Layaknya sedang berorasi untuk menuntut hak pada yang lebih tua.

"Hai Ayah. Jadi kapan mau ajak Kakak jalan-jalan ke pantai?" Tanyanya pada lelaki yang sejak tadi memperhatikan tingkah lucu anaknya.

"Nanti saat Ayah sudah dapat izin cuti yaaa," balas Ayah dengan teriakan. Si Cantik mengangguk setuju sambil memperlihatkan jempolnya yang sudah mengkisut.

Sudah lama memang ayahnya tak membawa Si Cantik jalan-jalan. Wajar saja anaknya menuntut. Lagi pula itu bukan permintaan aneh. Hanya ingin diajak berlibur ke pantai. Tugas kantor dan tanggung jawabnya sebagai manager telah merenggut sebagian besar waktu Sang Ayah. Terlebih sejak setahun lalu ibunya tak lagi tinggal bersama mereka. Di awal bulan ayah sempat ketar-ketir membagi waktu antara kerjaan dan mengurus Si Cantik, anak kesayangannya. Namun, seiring berjalannya waktu, Ayah sudah bisa mengatasi permasalahan tersebut.

Setelah mendapat izin kantor, ayahnya langsung memenuhi janji yang telah diikrarkan pada anak sematawayang.

Hari sabtu pagi.

Matahari sangat cerah. Cuaca kala itu sangat bersahabat. Tak salah jika memutuskan ingin berlibur ke pantai di hari secerah ini. Setelah mengemas berbagai keperluan piknik, ayah dan anak itu pun melajukan kendaraannya ke tempat tujuan. Pantai.

Ini waktu yang sangat dinantikan. Kencan berdua antar ayah dan anak pastilah sangat menyenangkan. Sang Ayah menjalankan mobil putih kesayangannya. Alunan musik Pak Kusir turut mengiringi perjalanan mereka. Lalu musik itu berganti menjadi lagu Pelangi. Si Cantik dengan bibir mungilnya turut menirukan lirik lagu dari pengeras suara yang ada di mobil. Sesekali ayahnya bercerita tentang Si Kancil. Setelah itu gantian, Si Cantik bercerita tentang Roy, teman kelasnya yang jahil dan usil. Perjalanan mereka terasa sangat menyenangkan.

Lelah dengan berbagai ocehan dan celotehnya, Si Cantik tertidur lelap. Mobil terus melaju di jalanan yang sudah sedikit lengang. Jarak pantai dari rumah mereka memang lumayan memakan waktu yaitu sekitar 2 jam. Ayahnya terus menyetir. Masih diiringi dengan lagu Pelangi, lagu kesukaan anaknya.

Tiba-tiba, dari arah depan melayang sebuah benda besar. Menghantam mobil Ayah dan Si Cantik.

Gelap seketika. Musik dari pengeras suara terdengar tersendat-sendat. Seperti enggan menyelesaikan lagu.

Masih diposisi yang sama. Windu mencoba berdiri dari kursinya. Tubuhnya menggigil. Bulir-bulir kecil terlihat di sekitar wajahnya. Ia melihat ke kiri dan kanan bagai tak tentu arah. Mencoba menggapai benda yang ada di sekitarnya. Dipegangnya kepala itu dengan erat. Tak merasa puas. Dipukul kepala itu dengan kedua tangannya. Namun masih terdengar suara aneh. Windu

Seketika gelap.

Hanya terdengar riuh suara tapak kaki.

☆☆☆

Tanjungbalai, 26 Desember 2017
Ditulis untuk memenuhi #30DaysWritingChallenge

☆☆☆

Baca episode sebelumnya di sini:
Episode #1: Selimut Tua
Episode #2: Peramal
Episode #3: Pengamat
Episode #4: Jurnal Harian
Episode #5: Ruang di Ujung Lorong

Comments

Popular posts from this blog

Eksotisme Pulau Banyak

Suka Duka Menjadi Asisten Peneliti

Dear Zindagi