#4. Jurnal Harian

Kapal Dolphin sedang bercumbu mesra dengan air laut. Ukurannya yang tidak besar mengharuskan ia mengalah pada lautan. Berlayar di pinggir laut agar tak termakan ombak besar. Sesekali Dolphin harus memanjat ombak demi bisa terus melaju ke tempat tujuan. Tak jarang seseorang dibalik lajunya Dolphin harus menurunkan knot untuk menjaga keseimbangan. Dolphin ini sangat lihai. Seolah sudah berteman akrab dengan lautan. Layaknya Dolphin yang sebenarnya.


Di sudut Dolphin terlihat seorang anak kecil. Sebenarnya ia sangat cantik. Namun aromanya sudah tak mengenakkan hidung. Baru setengah jam perjalanan, ia sudah pucat pasi. Mengeluarkan isi perut yang mendesak ingin bebas. Jika ditampung, sudah menghabiskan setengah lusin plastik. Seseorang di sebelahnya terlihat sibuk mengurut tengkuk anak kecil itu. Padahal, memandangi laut sangat menyenangkan. Tapi sayang, anak kecil tadi tak bisa turut merasakan sensasinya.

Sebisa mungkin Windu menjauh dari anak kecil itu. Ia takut akan melakukan hal sama jika mendekat. Windu menatap lurus ke depan. Melihat laut luas yang tak berujung. Jika ombak sedang besar, maka ia segera berusaha menyentuh air laut itu. Kabarnya ada lumba-lumba di laut ini. Namun sepertinya lumba-lumba itu malu. Mereka masih bersembunyi. Tak ingin memamerkan kelihaiannya di dalam lautan. Windu kecewa.

"Kau tak mabuk 'kan?" Sapa Zahra. Windu menoleh sambil tersenyum. Zahra teman dekat Windu, juga teman satu kosnya. Zahra aktif di kegiatan sosial. Ia jadi salah satu relawan sekaligus pengurus di Rumah Cita. Komunitas yang peduli dengan pendidikan anak-anak kurang beruntung.

Sejujurnya Windu tak pernah terpikir akan ikut dengan Zahra. Kegiatan harian Zahra terlihat sangat sibuk. Windu takut akan melalaikan kewajiban utamanya jika mengikuti jejak Zahra. Tapi, di pertemuan terakhir, wanita dewasa itu menyarankan agar Windu lebih terbuka pada lingkungan sekitarnya. Salah satunya dengan sering terlibat di kegiatan sosial. Zahra pun mengajak Windu dengan senang hati, saat mengetahui rencananya ingin terlibat di komunitas.

Setelah berlayar sekitar 2 jam, kapal yang ditumpangi Windu pun menambatkan talinya ke kayu besar yang berjejer. Ada sekitar 3 tali yang tertambat di kayu itu. Semua tim relawan bergegas menaiki dermaga. Sambut menyambut agar tak terjatuh saat melangkahkan kaki dari kapal. Beberapa penduduk juga berebut ingin keluar dari kapal. Aroma amis ikan langsung menyergap hidung. Windu terpaksa sedikit mengipas hidungnya. Maklum saja. Ini kali pertama bagi Windu. Zahra menertawakan tingkah Windu yang terlihat gelisah.

"Kau baru saja mengambil keputusan besar," Zahra membuka percakapan dalam perjalanan menuju rumah Pak Kades. Windu tak merespon. Masih sibuk memperhatikan langkahnya. Takut terpijak benda lembek menjijikkan yang bersembunyi di balik plastik hitam. Zahra tertawa. Lagi-lagi karena tingkah Windu.

"Nikmati saja Win. Kau pasti akan jatuh cinta dan jadi candu. Kegiatan relawan itu ada zat adiktifnya," sambung Zahra. "Aku sudah membuktikan," tatapnya pada Windu.

"Makasi Ra. Kau sudah sudi menuntunku ke sini. Sepertinya mulai sekarang kau akan dapat tugas berat," jawab Windu.

"Count on me!" Zahra menepuk pundak Windu. Lalu menarik tangan Windu agar segera mempercepat langkah. Pak kades, Bu Kades, serta beberapa warga sudah terlihat menyambut kedatangan para relawan. Weekend Windu kali ini akan berbeda. Ia akan menghabiskan waktunya di sebuah desa asing. Desa yang tak terlalu jauh dari kota, tetapi memiliki kesenjangan yang cukup signifikan.

Sebenarnya Windu tak begitu paham alasan wanita dewasa itu menyuruhnya ikut kegiatan sosial. Ia hanya mengikuti seperti yang diperintahkan. Wanita itu sempat membuka diri untuk negosiasi. Tapi Windu tak peduli. Ia tak mau tahu. Hanya mengikuti perintah dengan setengah hati.

"Kau menulis apa?" Zahra menepuk lengan Windu sambil mengintip buku catatan yang terbuka lebar, sesaat setelah mereka menyelesaikan misi hari pertama. "Jurnal harian?" Sambung Zahra takjub.
"Aku tak tahu kau suka menulis diary," Zahra sedikit tertawa.

"Aku juga tak tahu kenapa aku harus melakukannya," Windu menimpali, lalu menutup buku catatannya. Tawa Zahra membuatnya kesal.

Wanita itu yang meminta Windu menuliskan semua kegiatannya selama mengikuti acara kerelawanan. Ia juga meminta Windu menuliskan perasaan yang muncul saat terlibat dengan anak-anak. Susah, sedih, senang, bahagia, apa pun perasaan yang muncul harus segera dituliskan. Sudah lama sekali Windu meninggalkan kebiasaan ini. Jika diingat, terakhir dilakukannya saat kelas 5 SD. Dulu, ia sangat suka menuliskan kesehariannya dalam buku diary berwarna biru hadiah ulang tahun dari ayahnya. Kemudian terjadi sesuatu. Ia enggan menulis sepatah kata pun. Windu kehilangan jiwanya.

☆☆☆


Tanjungbalai, 24 Desember 2017.
Ditulis untuk memenuhi #30DaysWritingChallenge #2


☆☆☆


Baca episode lainnya di sini:
Episode #1: Selimut Tua
Episode #2: Peramal
Episode #3: Pengamat

Comments

Popular posts from this blog

Eksotisme Pulau Banyak

Suka Duka Menjadi Asisten Peneliti

Dear Zindagi