#2. Peramal

Hari ini akan menjadi pertemuan ketiga dengan wanita dewasa waktu itu. Pertemuan yang lalu tidak begitu berjalan mulus. Ada rasa yang tak menentu. Windu sempat dibuat takut menghadapi wanita yang gemar mengenakan blazer biru muda. Kabarnya wanita itu juga paling ditakuti di gedung ini. Rasa takut campur was-was membuat pertemuannya tak begitu bermakna. Meskipun begitu, Windu tetap menyelesaikan tugas yang diminta beliau. Demi mencapai cita-cita, Windu rela mengorbankan satu jam waktunya setiap malam sebelum tidur.

Pagi ini matahari bersinar dengan sangat cerah. Dua hari yang lalu hujan turun berturut-turut. Beberapa penghuni kamar kosan harus rela menguras air yang sudah menyentuh mata kaki. Salah satu derita anak kos! Untungnya hari ini cerah. Sepertinya mentari sudah lelah bersembunyi di balik awan. Dia lelah bermain petak umpet bersama manusia. Setelah mendapat mandat dari Pencipta, ia pun memberikan kehangatan pada umat manusia.

Cerahnya hari ini tidak secerah suasana hati Windu. Pertemuannya dengan wanita dewasa tadi semakin memperumit keadaan. Wanita itu meminta Windu berhenti bermain petak umpet. Windu bingung dengan permintaan tersebut. Padahal ia tak merasa sedikit pun sedang bermain petak umpet.

Nanar pandangan Windu. Menghadap jalanan yang tak pernah sepi dari lalu lalang orang dan asap kendaraan. Membuat Windu terkenang dengan suasana kampung yang tak kan pernah ditemukan di perkotaan. Pikirannya melayang ke sebuah desa yang jauh dari riuh bunyi klakson. Ingatan Windu menyapa setiap penduduk kampung yang dulu masih sangat kecil, namun terakhir ditemuinya sudah tumbuh dengan sangat baik.

Sesekali memori itu masuk ke sebuah rumah sederhana yang dihuni keluarga kecil nan bahagia. Ia tersenyum. Memandangi seorang anak kecil berambut pendek yang sedang jongkok di taman depan sambil berusaha meraih capung yang sedang bersembunyi di balik dedaunan. Anak kecil itu terus berlari. Berkejaran dengan capung. Akhirnya terjatuh tersandung bongkahan batu. Lalu menangis sekerasnya. Windu tersenyum melihat tingkah anak kecil itu.  Windu terus berkalana dalam lamunannya. Begitu asik dengan pikirannya sendiri hingga mengabaikan lima angkutan umum yang menawarkan jasa. Si abang sopir harus rela melepaskan calon penumpangnya. Belum rezekimu, abang sopir.

"Maaf, mbaknya pulang ke mana? Udah banyak angkutan yang lewat," seseorang membuyarkan lamunan Windu.

"Ehh? Sorry? Kamu tanya apa tadi?" Windu mencoba menutupi rasa malunya karena tertangkap melamun.

"Saya tanya, mbak mau pulang ke mana? Nunggu angkot atau nunggu teman? Karena udah lama duduk di sini dan udah banyak juga angkot yang lewat" lelaki itu menjelaskan

"Oh iya. Saya nunggu angkot" jawab Windu sekenanya, "ya ampuuun, masih ada gak nih yaa" baru tersadar ternyata hari sudah semakin sore. Windu memasang wajah cemas, takut tidak akan ada lagi abang angkot yang berbaik hati menawarkan jasanya.
Tak berapa lama di depan Windu berhenti sebuah kendaraan roda empat berwarna hitam. Seseorang yang duduk di balik kemudi melambaikan tangan pada Windu.

"Kota dek. Kota kota kota. . ., " suara lantang sopir menyadarkan Windu sepenuhnya. Sesegera mungkin ia menuju angkot di depannya. Sambil berlarian kecil tanpa menghiraukan lelaki tadi. Ia tak mau kehilangan angkot ke enam kalinya. Jika itu terjadi terpaksa Windu mengajak kedua kakinya berjalan dengan jarak yang tak dekat. Sebenarnya bisa saja Ia meminta Zahra untuk menjemputnya. Tapi ia tak ingin merepotkan orang lain. Ciri Windu itu berjuang sendiri terlebih dahulu, jika dirasa tidak sanggup barulah ia meminta bantuan orang lain.
Sebenarnya rumah Windu bukan di kota. Tapi ia memutuskan mengambil angkutan ini karena ia yakin tidak akan ada lagi angkutan lain yang menjurus melewati kosannya. Konsekuensinya ia harus berjalan lagi sekitar 500 meter. 'Tak apa lah, dari pada tak dapat angkot sama sekali', gumam Windu.

"Turun di mana mbak? " sapa suara di sebelahnya

"Ehh? Kamu naik angkot ini juga?" Windu tertawa kecil. "Aku turun di Jl. Pattimura." Jawab Windu pada lelaki yang sama dengan yang ditemuinya di halte.

"Hmm. . . Gak jauh lagi dong," lelaki itu menimpali, "saya bisa ngeramal loh" sambung lelaki tadi dengan wajah datar. Sontak, Windu tertawa geli mendengar pengakuan lelaki di sebelahnya.

"Ngeramal? Wah, hebat dong. Tapi jangan ramal aku ya. Aku gak suka di ramal" jawab Windu dengan nada serius namun dibumbui sedikit tawa. Sebenarnya dalam hati ia ingin tertawa sangat keras. Tapi, tidak mungkin tertawa sekeras itu dengan orang yang bahkan namanya pun tak Windu tahu.

"Lucu ya? Aku serius" lelaki itu pasang wajah serius. Menunjukkan kalau sepertinya ia memang sedang serius. Windu berhenti menahan tawa. Tak mau kalah, Windu juga memasang wajah serius seperti lelaki di sebelahnya.

"Oke oke. Biar saya kasi tahu sesuatu. Kamu percaya ada sekolah peramal, gak?" Windu melihat ke arah lelaki berbaju flanel di sebelahnya. Lelaki itu mengangkat kedua bahunya. "Kata orang-orang, saya kuliah untuk jadi peramal loh." Lanjut Windu. Ekspresi lelaki itu berubah. Sepertinya ia bingung dengan perkataan Windu. Raut wajahnya semakin membuat Windu geli dan ingin tertawa sekerasnya. Sebisa mungkin Windu menahannya. Tak ingin lelaki itu memiliki kesan jelek tentang Windu.

"Tapi a. . . ,"

"Duh, saya udah nyampek nih. Kalo gitu ngeramalnya kapan-kapan aja ya. Mungkin pas kamu udah jadi peramal kondang" ucap Windu dengan senyum simpulnya. Ia meminta abang sopir menghentikan kendaraannya, lalu berusaha berdiri dari kursi panjang berwarna hitam.

"Baiklah. Tapi janji, kalau bertemu lagi, kamu harus cerita masalahmu" lelaki itu berteriak. Berusaha agar suaranya terdengar jelas oleh Windu yang sudah beranjak menjauhi angkot. Windu tak berpaling sedikit pun. Terus berjalan menyusuri jalanan yang kiri kanannya dipenuhi semak setinggi betis.

'Apa maksud lelaki tadi?' Windu bergumam dalam hati. Setelah keluar dari kamar mandi, ia menuangkan air panas ke dalam mangkok mie instant yang sudah terbuka sejak beberapa menit lalu. Beberapa menit lalu ia berperang dengan mie instant. Setelah menimbang, akhirnya ia memutuskan memakannya. Windu kalah perang.

'Lelaki aneh' Windu tertawa saat membayangkan percakapannya di dalam angkot bersama lelaki yang baru dikenalnya. Tawanya semakin pecah saat mengingat perkataan terakhir, lelaki itu menyinggung kata masalah.

'Masalah apa maksudnya?' Windu tak habis pikir kenapa seorang lelaki yang dari antah berantah bisa mengatakan perkataan yang menurutnya sangat aneh. Perkataan lelaki berhidung mancung tadi telah mencuri perhatian Windu. Membuat mie instant yang sudah siap dilahap semakin mengembang dan mengurangi cita rasanya.

'Ada apa dengan lelaki itu? Atau. . ., dia benar-benar peramal?' Tanya Windu dalam hati.

☆☆☆




Tanjungbalai.
Ditulis untuk memenuhi tugas #30DaysWritingChallenge #2

Comments

Popular posts from this blog

Eksotisme Pulau Banyak

Suka Duka Menjadi Asisten Peneliti

Dear Zindagi