Sebuah Cerita Tentang Seseorang

Hari ini 3 Desember. Hujan masih tetap setia menemani hingga pagi. Matahari pun jadi malu-malu ingin muncul. Pada tanggal ini dua puluh tiga tahun yang lalu, seorang cucu adam keluar dari perut yang gelap untuk melihat dunia yang cerah. Seorang bayi perempuan. Bayi lucu itu diberi nama Sri Delima. Bayi yang dinantikan oleh sepasang suami istri juga keluarga lainnya. Ia tumbuh besar dengan sangat baik dan sekarang sedang berjuang mewujudkan mimpinya menjadi seorang dokter.

Ia, Sri Delima yang ku kenal 5 tahun lalu, kini berusia 23 tahun. Aku dan dia dipertemukan oleh takdir di suatu kamar susun daerah Darussalam, Banda Aceh. Dulu Ia sedikit berantakan. Maksud ku, Ia tidak terlalu memperhatikan penampilannya. Namun kini Ia sudah menjadi wanita dewasa. Kata 'dewasa' mungkin menuntutnya untuk berpenampilan lebih rapi dan menarik.

Ia, wanita kelahiran Aceh itu, pertama kali terlibat percakapan dengan ku saat Ia sedang memasak tempe di depan kamar kosnya. Ketika itu Ia dan seorang roommate nya sedang sedikit kewalahan dengan segala pernak pernik masak dengan raut wajah yang berkerut. Sesekali terdengar tawa mereka. Menertawakan ketidaktahuan tata cara memasak tempe. Sementara si tempe sudah bosan menanti ingin segera masuk ke kolam minyak panas.

Ia, perempuan yang tumbuh besar di Bekasi itu, pada tahun yang entah ke berapa secara khusus menanggilku ke kamarnya hanya untuk mendengar isak tangis dan melihat tumpahan air matanya. Tangis kekecewaan. Kecewa pada diri sendiri lebih tepatnya.

Ia, wanita yang pernah tinggal di Padang itu, sebelum adiknya juga ikut menimba ilmu di Bumi Serambi Mekkah, selalu mengganggu ke kamarku. Pulang ke kosan tidak akan afdol kalau belum mengusik ketenanganku. Tak perduli itu pagi, siang, atau malam sekalipun. Bahkan tak jarang hingga terlelap dan membajak kasur tersayangku. Tak tahu malu memang.

Tapi itu lah Ia. Ia yang aku suka dengan hal aneh pada dirinya.

Ia, yang saat ini bersama keluarga sudah memutuskan menetap di Banda Aceh, pernah mencurahkan isi hatinya padaku di atas kertas putih. Yang tak kan ada orang lain yang mengerti jika ingin membacanya. Hal ini semata-mata karena Ia tidak ingin cerita itu terdengar oleh teman sekamarku. Kami pun hanya melakukan coret coret tak menentu di atas kertas putih itu. Sesekali tertawa pelan. Takut teman sekamarku penasaran. Mungkin kala itu Ia menganggap kami aneh.

Ia, yang bahkan ketika kami tidak lagi tinggal satu kosan, memanggil ku dari kejauhan. Meminta datang ke rumahnya membawakan obat dan makanan. Atau mungkin lebih tepatnya memintaku menemani harinya saat itu. Aku tahu rasanya sakit sendirian tidak pernah enak. Bahkan sakit itu juga tidak pernah enak. Konon lagi harus menanggung sendirian. Entah kenapa kala itu aku tak perlu berpikir panjang. Langsung pergi menuju kediamannya. Mungkin saat itu dia menghipnotisku. Aku jadi menuruti semua permintaannya. Tega sekali kau, Sri.

Ia, wanita yang katanya punya poker face itu, sering kali mencoba menyembunyikan permasalahan yang dihadapinya. Tapi tak pernah berhasil. Karena di saat Ia menyembunyikannya, saat itu lah Ia langsung ketahuan sedang menyembunyikan sesuatu. Sepertinya kamu harus lebih banyak belajar lagi, Sri.

Ia, Sri Delima, temanku yang ketika aku bertolak pamit dari Banda Aceh menyampaikan, bahwa aku salah seorang teman yang sudah diizinkan masuk ke hatinya. Bukan sekedar masuk ke rumah atau pun kamar. Tapi masuk hingga ke hati. Awas loh, sebenarnya aku tidak sebaik itu. Takutnya kamu malah kecewa.

Duhai kamu yang bernama Sri Delima. Sekarang kamu sudah dewasa dan semakin tua. Tapi tenang, kamu belum keriput kok. Aku harap kamu juga memiliki sifat dan sikap yang semakin dewasa.

Aku ingin kamu dapat mewujudkan karirmu menjadi apa pun. Meski dengan waktu yang cukup panjang. Apa pun itu aku turut dukung, tapi kamu jangan pernah lari dari tujuan hidup yang pernah kamu ikrarkan padaku, yaitu "ingin bermanfaat untuk orang lain". Teruslah seperti itu. Hingga kelak aku dengan bangga bercerita pada anak-anakku telah berteman pada seorang Sri Delima yang selalu menebarkan manfaat untuk orang lain.

Wahai Sri, aku tak meminta kamu untuk selalu mengingatku. Karena aku tahu, ingatan memiliki batasan. Yang aku minta, jika kamu merasa berteman denganku mendatangkan manfaat, ambillah manfaat itu. Namun jika kamu merasa berteman denganku melulu membawa hal negatif, maka jangan ambil apa pun dariku.

Sri Delima, seperti katamu waktu itu, kamu juga sudah ku izinkan untuk masuk ke hatiku. Walaupun aku tahu kamu tidak sebaik itu. Tidak masalah bagiku, karena aku tak pernah berharap berteman denganmu tak akan pernah membuat hatiku terluka. Seperti itu lah hubungan, pasti pernah ada konflik yang terjadi. Hanya saja, kita punya cara tersendiri untuk saling memaafkan.

Ku ucapkan selamat ulang tahun untuk seorang Sri Delima yang mungkin saat ini sedang di rumah sakit? Atau mungkin masih tertidur karena kelelahan selama di rumah sakit? Atau jika pun hari ini kamu sedang menonton film kartun dan anime kesukaanmu, aku turut senang mendengarnya. Doaku tak banyak untukmu. Kamu pun pasti tahu doa itu. Doa pasaran yang setiap orang inginkan untuk orang-orang terdekatnya.

Sekali lagi. Selamat tambah tua Sri Delima. Selamat Ulang Tahun.
Tahun ini tidak ada kue dariku. Tapi coba lihat foto di bawah ini. Apa kamu ingat? Foto ulang tahun sebelumnya. Anggap saja mulai tahun ini, saat tiba ulang tahunmu, foto kue ini cukup mewakili hingga tahun berikutnya. Terdengar aneh? Memang....







Tanjungbalai.
Masih bermalas-malasan di atas kasur.

Comments

Popular posts from this blog

Eksotisme Pulau Banyak

Suka Duka Menjadi Asisten Peneliti

Dear Zindagi