Pelajaran Hidup Tersulit

Malam ini hujan kembali mengguyur kampung halamanku. Sejak matahari mengucapkan selamat tinggal pada siang, sang hujan tak berhenti menggantikan keberadaannya untuk malam. Udara pun terasa sangat sejuk. Terpaksa sesekali aku harus menyembunyikan kaki ke balik selimut.

Aku suka hujan. Tapi kata para emak, main hujan bisa buat kamu demam. Tapi aku suka dengan sengaja membiarkan hujan membasahi tubuhku. Ingat dulu saat Ibuku mengantar ke sekolah naik kereta (sepeda motor) saat hujan, pasti disuruh berlindung di bawah jas hujan. Tapi aku terlalu risih untuk berdiam diri di bawah jas hujan itu dan terlalu cinta dengan air hujan, jadi lah aku sering mengintip ke luar dan sesekali menengadahkan tangan ke arah langit.

Sekarang pun masih sama. Setelah hujan tidak terlalu deras, aku pun pergi ke warung dekat rumah untuk membeli barang khas wanita. Payung sih ada. Tapi aku lebih memilih membiarkan air hujan menyapa kepala hingga menembus kulit kepalaku. Tak lupa juga waktu berjalan ke arah warung, aku memainkan genangan air yang bertebaran. Menghentakkan kedua kaki secara bersamaan hingga membuat air berserakan. Bahagia sekali rasanya.

Malam ini pun seperti malam sebelumnya. Seperti dua puluh satu malam yang sudah dilewati, malam ini aku juga harus melewatinya dengan menuliskan satu cerita tentang tema yang sudah ditentukan. Tema hari ini adalah tentang hal yang paling sulit aku pelajari selama ini. Aku pun mulai berpikir keras tentang hal yang paling sulit ku pelajari. Untung saja kepala tidak mengeras memikirkannya.

Akhirnya aku menemukannya. Hal yang paling sulit ku pelajari. Aku baru menyadarinya saat sedang menuliskan paragraf di atas. Hal yang selama ini sulit ku pelajari adalah bersikap asertif. Bahasa sederhananya menyampaikan apa yang ingin ku sampaikan. Mengungkapkan hal yang mengganjal di hati kepada orang yang seharusnya. Mengatakan ketidak setujuan pada suatu hal. Hingga dengan tegas mengatakan TIDAK pada hal yang tidak diinginkan.

Itu hal yang paling sulit ku pelajari. Bahkan hingga sekarang aku masih terus belajar untuk lebih mahir melakukannya. Untung lah aku dipertemukan dan dibuat jatuh cinta dengan psikologi. Dari belajar psikologi akhirnya perlahan aku mulai mendapatkan pengobatan 'rawat jalan'. Meskipun mencintai psikologi itu berat, tapi untungnya cintaku tak bertepuk sebelah tangan.

Selama kuliah di psikologi, secara tidak langsung, aku telah diajarkan cara mencintai diri sendiri. Aku dikenalkan cara untuk terus melakukan upgrade diri sendiri. Hingga diajarkan untuk bisa berdamai dengan diri sendiri. Tapi tentu saja semua pembelajaran itu tidak serta merta didapatkan hanya dari duduk mendengarkan kuliah. Pembelajaran menjadi asertif ku dapatkan dari seringnya terlibat berbagai kegiatan. Berjumpa dengan orang baru dan berbagai kepribadiannya yang tak jarang membuat sakit kepala. Hingga dibebankan tanggung jawab yang harus diselesaikan.

Segala dinamika proses pembelajaran itu ku tempuh dan ku nikmati, hingga membawa pada diri ku yang saat ini sudah bisa lebih asertif. Bukan apa-apa, tak jarang ketidakmampuan kita bersikap asertif menjadi boomerang bagi diri sendiri di masa depan. Tentu saja aku mengetahui ini ketika belajar di psikologi. Dan pastinya aku tidak ingin membesarkan bom dalam diri sendiri. Makanya ku putuskan untuk mampu mempelajari pelajaran hidup tersulit itu. Tentunya tersulit bagiku.

Semoga dengan begitu aku mampu menjadi pribadi yang lebih baik dan tentunya memiliki kesehatan mental yang semakin meningkat.



Medan.
Selesai menulis, tarik selimut dan menenggelamkan badan hingga dikira mumi.

Comments

Popular posts from this blog

Eksotisme Pulau Banyak

Dear Zindagi

Suka Duka Menjadi Asisten Peneliti