#1. Selimut Tua

"Baiklah, hari ini cukup sampai disini saja. Nanti kita atur pertemuan selanjutnya ya. Jangan lupa selesaikan tugas yang saya berikan." seorang wanita muda dewasa menyampaikan kalimat penutup dengan penuh kehangatan pada gadis yang duduk di depannya. Gadis itu menganggukkan kepala, tanda setuju dengan perkataan wanita dewasa tersebut. Ia beranjak dari kursi yang sudah mengempes busanya karena lelah dikencani. Setelah berpamitan pada wanita tersebut, ia menarik gagang pintu dari ruangan sederhana berwarna putih yang menenangkan mata saat memandang. Sekali lagi diarahkannya pandangan pada wanita yang masih duduk di belakang meja, kemudian menarik kedua sisi bibirnya diikuti dengan menarik gagang pintu ke arah luar.

Ia menyusuri satu-satunya lorong lantai dua yang ada di gedung ini. Lorong yang masih bernuansa sama, juga berwarna putih layaknya ruang yang baru dikunjungi. Ia melangkahkan kakinya dengan pasti. Melewati berbagai rupa manusia yang beberapa diantaranya masih sangat asing dan tak jarang juga mengerikan. Menuruni anak tangga satu persatu. Berjalan lagi melewati kerumunan orang yang tak jarang turut memperhatikan langkah kaki serta penampilannya. Yang tentu saja membuat perasaan jadi tak karuan.

"Hei, dari mana aja? Kita ada presentasi. Kirain kamu terlambat" lelaki berkaca mata langsung mendekati gadis itu.

"Gak mungkin aku terlambat. Nilai presentasi 15%, makalah juga 15%. Aku belum terlalu cinta sama mata kuliah ini. Jadi aku gak bakalan mau jumpa lagi di semester berikutnya" gadis itu tertawa kecil, memperlihatkan susunan giginya yang rapi dan bersih.

"Iya sih. Kamu kan si Windu yang tak kan pernah absen dan selalu aktif di kelas. Jadi gak mungkin ngeremehin hal kayak gini" lelaki itu berbicara dengan penuh penekanan, seolah yakin Windu tak akan keberatan dengan perkataannya.

Windu hanya tersenyum sambil mengeluarkan beberapa diktat kuliah yang terdiri dari berlembar-lembar kertas yang tak kan menyenangkan jika disebutkan angkanya. Windu tak menyangkal sedikit pun perkataan temannya itu. Selama ini ia memang selalu memperhitungkan bobot penilaian yang diajukan dosen saat menyampaikan kontrak belajar. Tak jarang juga mengkritik bobot tersebut jika dirasa ada yang kurang pas dan kurang layak diberi bobot terlalu rendah ataupun terlalu tinggi.

Misalnya saja ketika ada dosen yang memasukkan keaktifan di kelas menjadi salah satu penilaian dengan bobot hingga 20%, ia pasti tidak terima. Sebenarnya mudah saja jika ia ingin mengantongi 20% tersebut, tapi menurutnya bobot itu terlalu besar hingga nanti akan selalu ada rekannya yang berusaha menonjolkan diri tanpa benar-benar melakukan hal yang berbobot.

Terlebih lagi ada lebih dari 60 jenis kepala di ruangan ini. Si ekstrovert tidak akan keberatan dengan nilai itu, tapi si introvert akan merasa tertekan dengan jumlah yang tak masuk akal. Tak apalah keaktifan di kelas jadi tolok ukur, tentunya tidak dengan jumlah yang sangat besar. Setidaknya si introvert tadi bisa menutupi kekurangannya dengan mengejar nilai dari ujian tulis. Begitu yang Windu pikir.

☆☆☆

Kelas hampir usai. Masing-masing mahasiswa mulai mempersiapkan peralatannya, ingin segera pamit dari ruangan besar nan pengap. Jiwa-jiwa yang sebelumnya melayang bebas hingga ke benua lain mulai kembali ke raga yang tetap duduk manis menatap layar proyektor saat sang moderator berkata akan segera menutup sesi presentasi. Para kepala yang sejak tadi sibuk menunduk mengecek waktu yang terpampang di pergelangan tangan akhirnya memancarkan wajah segar. Padahal sebelumnya menguap lebar hingga ratusan kali. Meskipun hampir tak terlihat, akan tetap ada jiwa yang sejak awal telah merasuki dunia yang disampaikan sang presentator. Jiwa yang sedikit kecewa saat harus mengakhiri sesi belajar padahal belum terpuaskan rasa hausnya akan ilmu.

Setelah kelas sedikit lengang dari desakan umat yang berebut ingin segera keluar, Windu menyusul keluar. Bersama dua temannya, Windu berjalan ke arah selatan gedung. Mengambil posisi paling sudut, dekat dengan berbagai jenis etalase yang memamerkan berbagai jenis rupa perayu perut. Setelah kelas selesai, perut memang selalu meminta bagiannya. Perut seperti tidak setuju jika tubuh hanya peduli dengan otak. Jadi, sepertinya perut mengajak cacing untuk berdemo.

"By the way, aku udah beli yang waktu itu disuruh Pak Benny cari," Meri, salah satu teman Windu mengeluarkan sebuah benda dari dalam tasnya. Benda yang kemudian dikenal dengan sebutan buku. Yang bisa jadi senjata jika ada maling mencoba mengambil laptop jadul berharga di kamar kosan. Buku yang jika kau hitung jumlah lembarannya membutuhkan waktu hampir satu jam. Namun jika kau bisa lebih cerdas, kurang dari 5 menit sudah cukup untuk menghitungnya.

"Gileeee, tebalnya minta ampun. Jadiin barbel nih bagusnya," Silly mencoba mengangkat buku ke atas. Katanya sekalian melatih tendon. Sepertinya ditangan Silly, buku maha tebal itu akan jadi pengganti barbel. Kabarnya ia sedang diet demi menciptakan berat badan ideal.

"Mana sanggup awak baca buku setebal ini. Emang gak ada yang normal ya buku kitaaaa. Tebalnya udah kayak wafer tango yang berlapis-lapis" sekarang giliran Windu yang mencoba menaksir berat buku yang membahas berbagai gangguan manusia di muka bumi ini.

"Makanyaaa, siapa suruh kuliah naaak? Nikah sanaaa." Mereka serempak menjawab. Tawa pun pecah. Seolah geli mendengar kalimat sakti yang sering diucapkan saat jiwa raga mempertanyakan ini dan itu tentang dunia jurusan yang baru mereka kenal dalam kurun waktu kurang dari setahun. Dan seolah dengan menikah bisa menyelesaikan semua masalah hidup.

Langit sudah mulai memancarkan warna keemasan. Pertanda malam ingin segera menggantikan peran siang dan menyapa para manusia yang telah berlelah menghabiskan berliter keringat dan berjuta untaian kalimat buah pikiran. Tadi, setelah memenuhi isi perut, Windu berpamit untuk kumpul dengan teman kelompok mata kuliah Statistika Dasar. Jujur saja, sebenarnya banyak yang memilih menetapkan nasibnya kuliah dijurusan yang Windu ambil karena merasa jurusan ini tidak akan pernah berjumpa dengan angka dan hitungan.

Tapi apa daya, sejak semester awal angka dan hitungan sudah duduk manis menyapa dan mengangetkan setiap jiwa yang tidak pernah mengharapkan pertemuan itu. Parahnya lagi, angka dan hitungan akan terus menyapa setiap semesternya. Ini seperti mimpi buruk bagi para pemimpi yang enggan bertemu dengan angka dan hitungan. Benar-benar mimpi buruk.

Malam sudah menghampiri. Langit malam ini indah berhiaskan banyak bintang. Pemandangan langka di daerah Windu tinggal selama hampir setahun ini. Udara terasa semakin sejuk. Menusuk hingga ke tulang. Rupanya waktu telah berjalan melewati lebih dari setengah malam. Seorang berbaring di atas kasur dengan rambut terurai ke belakang. Wajahnya ditutup rapi dengan potongan selimut merah maroon yang sudah menua dimakan usia. Warnanya jadi lebih mirip ke coklat. Atau merah pudar? Entah lah, taksiranku usia selimut itu sudah 30 tahun. Ruangan ini sudah gelap sejak dua jam yang lalu. Namun, sang pemilik kamar belum juga terlelap. Sayup-sayup terdengar isak tangis seseorang dari balik selimut. Suara seorang gadis. Gadis yang saat ini bersembunyi di balik selimutnya. Gadis yang bernama Windu Amanda Husein.

☆☆☆

Tanjungbalai.
Ditulis untuk memenuhi #30DaysWritingChallenge #2

☆☆☆
Baca episode lainnya di sini:
Episode #1: Selimut Tua
Episode #2: Peramal
Episode #3: Pengamat
Episode #4: Jurnal Harian
Episode #5: Ruang di Ujung Lorong
Episode #6: Hujan dan Sebuah Memori
Episode #7: Potongan Masa Lalu
Episode #8: Lima Puluh Menit Windu
Episode #9: Sentuhan yang Mengeluarkan Air Mata
Episode #10. Pada Tahun 2010 Silam
Episode #11: Nona dan Derita Windu
Episode #12: Menggali Masa Lalu
Episode #13: Sebuah Pengungkapan
Episode #14: Seseorang Dari Masa Lalu
Episode #15: Lembaran Baru

Comments

Popular posts from this blog

Eksotisme Pulau Banyak

Suka Duka Menjadi Asisten Peneliti

Dear Zindagi