Lika-liku Pencarian Cinta (Part 1)

Sepasang Bola Mata

Hari ini sangat terik. Mentari sedang semangatnya memancarkan sinar. Dua hari yang lalu hujan turun berturur-turut. Banyak manusia yang mengeluh karena hujan telah menghambat berbagai aktivitas. Akhirnya hari ini Dia mengutus matahari untuk bersinar terang. Dia berharap manusia akan berterima kasih. Tapi sayang, manusia terlalu sulit dimengerti. Manusia itu juga mengeluhkan hal yang sama. Seperti halnya mengeluh waktu hujan. Entah apa yang mereka inginkan.

Seorang lelaki berkaos oblong abu-abu itu pun tampak gerah dengan cuaca hari ini. Ia mencoba meneduhkan diri di bawah pohon beringin. Tak jauh dari keramaian. Tampaknya Ia begitu sibuk. Terus menatap ke bawah, mengotak-atik handphone tanpa memperdulikan sekitarnya.

Ia Gillan. Mahasiswa teknik elektro yang suka sama hal berbau teknologi. Gillan juga cinta sama kecepatan. Gillan suka ponsel yang punya dapur pacu cepat. Suka komputer yang mampu merespon cepat. Teknologi terkini yang bersaing cepat. Hingga suka melajukan kendaraan dengan cepat. Juga suka kuliah yang selesai cepat. Tapi sayangnya, cepat selesai kuliah jadi momok menakutkan baginya.

Selain suka kecepatan, lelaki berkacamata itu juga suka bereksperimen. Menjadi mahasiswa teknologi akan sangat hampa rasanya kalau tidak suka eksperimen. Thats why he really enjoy doing experiments. Termasuk bereksperimen tentang urusan hidup. Yaitu percintaan. Ia bereksperimen, trial and error demi mendapatkan pasangan hidup yang sesuai. Banyak yang mengira Ia jomblo akut. Padahal sebenarnya. . . Ahh kau akan tahu sendiri jika sudah membacanya.

Lelaki tinggi itu juga suka kopi. Menikmati kopi layaknya menikmati hidup. Dalam satu hari Ia harus minum setidaknya secangkir kopi. Kalau tidak? Hidupnya akan hampa. Ia akan sekarat tanpa kopi. Pahitnya kopi mengajarkan Ia untuk terbiasa dengan pahitnya hidup. Hampir setiap hari Ia duduk di warung kopi. Mungkin si abang tukang buat kopi sudah hafal sama wajahnya. Di warung kopi juga lah Ia menemukan lagi cinta yang tertunda.

Ketika itu, di sore hari yg cerah, sambil mengenakan kaos kesayangannya, Ia nongkrong bersama teman-temannya di salah satu warung kopi langganan. Tak banyak yang mereka bahas di meja itu. Atau lebih tepatnya tak banyak hal bermanfaat yang mereka bahas. Tak jauh dari meja tempat Ia duduk, ada sepasang bola mata yang tidak asing baginya. Duduk berdua dengan seseorang yang juga temannya. Sepertinya Ia mengenal mata itu.

Tapi siapa?

Ia mencoba mencari tahu jawabannya. Memuaskan perasaan ingin tahu yang begitu besar tentang sepasang bola mata itu. Tampak Ia melontarkan senyum untuk teman yang dikenalnya itu. Yang persis duduk disebelah sang pemilik sepasang bola mata indah itu.

Sepanjang hari Ia terus memikirkan mata itu. Rasanya ingin membuatnya mati penasaran. Waktu itu cuma satu dalam benaknya. Ingin mengetahui kebenaran tentang bola mata tersebut.
Ia gelisah. Berkali-kali menatap layar handphone.

Mengetik. Menghapus. Ketik ulang. Hapus lagi.

Ia tak dapat berkonsentrasi. Sepasang bola mata yang kemaren sore dilihatnya sungguh telah mencuri perhatiannya.

"Gue harus beraniin diri. Bodo amat. Keep calm bro. Buang dulu gengsinya. Biar semua jelas" ucapnya tegas. Seolah memberi sugesti pada diri sendiri. Lumat ditatapnya benda seukuran genggaman tangan itu. Dengan kening yang sesekali berkerut. Mencoba menyusun kalimat. Membuat konsep tentang hal yang ingin diketahuinya. Sesekali memejamkan mata. Setelah berjam-jam, akhirnya dengan mantap memencet tombol berwarna hijau yang ada di genggamannya itu.

"Halo Jul. Ini gue, Gillan. Gue cuma mau mastiin sesuatu sama lo . . . " Gillan tampak berbicara dengan seseorang di seberang sana. Memasang raut wajah penasaran. Yang membuat keningnya berkerut-kerut. Sesekali terlihat matanya terbuka lebar diikuti gerak bibir, yang siapa pun melihatnya seolah percaya bahwa Ia sedang bahagia.

"Gue tahu itu beneran lo. Ternyata gue belum salah mengenali wajah lo. Tatapan mata itu tidak pernah berubah. Bahkan setelah bertahun tak terlihat" Gillan bergumam. Tampak bahagia. Sepertinya percakapan dengan Juli mampu mengubah rona wajah itu. Tak terlihat lagi raut tak menentu. Hanya bahagia dan harap yang terpapar.



To be continue. . .

Comments

Popular posts from this blog

Eksotisme Pulau Banyak

Suka Duka Menjadi Asisten Peneliti

Dear Zindagi