#3. Pengamat

Sejak lima menit lalu seekor kupu-kupu terlihat sibuk. Beterbangan ke sana ke mari. Sesekali menabrakkan tubuhnya ke benda yang terpampang besar dan mengelilingi ruangan ini. Sepertinya ia mencari jalan ke luar. Benda besar ini memang transparan. Mungkin itu lah alasan si kupu-kupu menabrakkan badannya. Ia mengira itu jalan keluar dari ruangan.

Ada begitu banyak orang dalam ruangan. Tapi sepertinya tak ada yang menyadari keberadaan si kupu-kupu. Membuat kupu-kupu harus terbang mengelakkan tabrakan dengan tubuh manusia yang ukurannya berkali lipat. Beberapa menit sekali kupu-kupu berhenti terbang. Lalu hinggap di bingkai lukisan pemandangan yang menghiasi ruang. Mungkin ia lelah. Terbang ke sana ke mari, tapi tak jua menemukan pintu keluar. Sekilas, ia terlihat bahagia karena terbang ke sana ke mari. Tapi sebenarnya ia terpenjara dalam keramaian ini.

'Driiittt' suara pintu terbuka. Disusul dengan seseorang masuk ke ruangan. Seketika Windu menatap kupu-kupu yang sedang istirahat di bingkai pemandangan. Kupu-kupu itu bagai menangkap pesan Windu, lalu terbang menuju pintu yang sedang terbuka lebar. Sepertinya Windu bertelepati dengan kupu-kupu, mengabarkan bahwa ada pintu keluar yang terbuka lebar. Jadi harus segera terbang ke sana. Akhirnya kupu-kupu itu pun bebas. Windu tersenyum melihat tingkah binatang bersayap belang merah oren yang sedang bahagia karena telah bebas dari keramaian yang tak diinginkannya.

"Kamu tersenyum. Kamu pasti sedang bahagia," tiba-tiba suara asing mengganggu fokus Windu. Diarahkannya pandangan menuju sumber suara. Lumat ditatapnya wajah sang pemilik suara. Setelah beberapa detik, ia sadar. Seseorang di depannya ini bukan orang yang terlalu asing.

"Iya, ini aku," ucap sang pemilik suara "yang waktu itu di angkot" lelaki itu menjelaskan seolah tahu pertanyaan yang ada di benak Windu.

"Nah. Iyaa. Peramal itu kan?" Windu mencoba menegaskan. Takut ia salah kira. Lelaki itu tersenyum. Tanpa menjawab pertanyaan Windu tentang peramal.

"Ini pertemuan kedua. Saya ingin memperkenalkan diri," lelaki yang kali ini mengenakan baju kemeja lengan panjang mengulurkan tangannya ke arah Windu. Ditatap Windu wajah lelaki itu, bergantian dengan tangan yang diulurkannya. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. . . Setelah lima detik, Windu tak bergeming.

"Sepertinya aku ditolak lagi. Baiklah." Ucapnya sambil menurunkan tangan kanan yang sudah menggantung tadi.

"Hari ini kamu bahagia. Saya turut senang," sambungnya. "Sepertinya akan ada pertemuan kita selanjutnya. Kuharap, kamu tidak menolakku lagi." Lelaki itu berbicara lebih panjang tanpa mengizinkan Windu untuk merespon perkataannya. Windu hanya menatap wajah lelaki itu. Ia dibuat takjub, heran, juga aneh bercampur jadi satu.

"Hei Winduuu," suara Meri membuyarkan pandangan Windu pada lelaki di depannya.

"Saya sedang ada rapat di lantai atas. Sampai jumpa dilain waktu" ucap lelaki itu sambil melambaikan tangan kanannya. Lambaian kecil untuk orang yang belum terlalu dikenal. Ia berjalan meninggalkan Windu dan temannya. Windu hanya menatap jauh punggung lelaki yang perlahan semakin menghilang.

"Cieee, gebetan baru nih" celetuk Silly sambil mencolek lengan Meri. Teman Windu ini seperti sudah menyiapkan beragam pertanyaan untuk menginterogasi Windu. Mereka tak akan membuang kesempatan ini begitu saja. Ini momen langka bagi Windu.

"Apaan sih. Bukaaan." Windu berkilah. Menjawab seadanya sambil terus menatap ke arah yang dilalui lelaki tadi.

"Bukaan. Tapi orangnya udah pergi tetap ditunggui nongol, kan?" Meri menangkap gerik Windu yang tak seperti biasanya.

"Enggak. Bukan gitu. Aku takjub aja," lanjut Windu, "Tadi ada kupu-kupu terjebak di sini. Nah, cowok itu yang nolongnya. Ternyata pas si cowok masuk, kupu-kupu itu dapat jalan keluar. Keren kan!"Windu menjelaskan dengan tatapan mata berseri.

Meri dan Silly saling tatap penuh kebingungan. Mereka menggelengkan kepala berkali-kali. Tidak begitu paham dengan tingkah Windu.

"Kamu ini ya Win. Aneh-aneh aja. Kupu-kupu sesat pun diperhatiin segitunya" Silly tertawa kecil.

"Duh, gimana yaa. Tuntutan profesi sih" jawab Windu sambil tertawa.

"Iya nih. Aku juga ngerasa. Percaya atau enggak, sejak kuliah, cara kita ngelihat sesuatu itu jadi beda" Meri menimpali

'Driiiitt' suara pintu yang sama. Diikuti seorang wanita masuk ke ruangan. Semua mata tertuju pada wanita yang mengenakan setelan serba merah. Mencuri perhatian. Silly, Meri, dan Windu saling berlempar tatap.

"Nah, pasti kita ngelihat hal yang sama" ucap Meri sambil sedikit tertawa. Diikuti tawa kedua temannya, Silly dan Windu. Mereka menertawakan keadaan yang saat ini terjadi. Keadaan yang ada di sekeliling mereka.

"Iya memang. Sejak kuliah kita jadi memandang dari sisi yang berbeda," sambut Windu, "Kalau ada yang mencolok, biasanya orang akan sibuk memperhatikan sumber. Tapi kita beda" Windu melanjutkan perkataannya. Dialihkan pandangannya ke orang yang ada di ruangan ini. Semua mata tertuju pada wanita yang baru masuk tadi. Mengikuti gerak wanita itu hingga mengambil posisi duduk di salah satu meja tepat di sebalah posisi tiga sekawan.

"Kalo orang sibuk merhatiin si cewek, kita mah sibuk perhatiin orang di sekitar," Silly sedikit berbisik, takut terdengar orang lain. "Semua mata tertuju ke tu cewek, berarti penampilan cewek itu sangat mencuri perhatian" Silly menjelaskan lebih lanjut. Diikuti dengan anggukan kepala Meri dan Windu. Menandakan setuju dengan perkataan Silly. Ditatapnya lagi wanita yang kini duduk di sebelah meja mereka.

Bangku kuliah seolah mengajarkan untuk melihat suatu hal dari sudut yang berbeda. Melakukan observasi sudah seperti makanan harian bagi mahasiswa yang kuliah di jurusan ini. Para mahasisiwa ini dipaksa untuk berpikir out of the box. Tak jarang juga harus lebih kepo tentang lingkungan sekitarnya. Sayangnya masih banyak yang memandang sebelah mata. Mengira para manusia pencari suaka ilmu ini sebagai peramal. Padahal mereka bukan dilatih untuk meramal. Hanya diajarkan cara terbaik untuk mengamati.

Termasuk mengamati setiap langkah seorang lelaki yang menuruni tiap anak tangga. Langkahnya semakin lebar menuju pintu yang sama seperti saat ia masuk. Sepertinya ia sedang tergesa-gesa. Raut wajahnya pun tidak terlalu bahagia. Lebih serius dibanding saat ia mengatakan bisa meramal Windu. Wanita yang sejak tadi memperhatikannya pun harus menahan napas, ketika melihat ia tersandung batu dan hampir terjatuh.

'Terburu-buru sekali. Apa yang dikejarnya?' Windu bertanya dalam hati.

☆☆☆




Tanjungbalai.
Ditulis untuk memenuhi #30DaysWritingChallenge #2


☆☆☆

Baca episode sebelumnya di sini:
Episode #2 : Peramal
Episode #1. Selimut Tua

Comments

Popular posts from this blog

Eksotisme Pulau Banyak

Suka Duka Menjadi Asisten Peneliti

Dear Zindagi