Bahkan Takdir Enggan Berpihak

Pagi ini cerah. Mentari sudah menampakkan sinarnya sejak tadi. Suara klakson kendaraan pun sahut menyahut di luar sana. Terdengar sibuk dengan urusannya. Masing-masing membawa ego yang merasa paling benar. Hingga semuanya berpikir yang paling berhak menjadi penguasa jalanan.

Di salah satu kamar kecil di sebuah rumah yang terdapat di pinggiran kota Medan, juga tak kalah sibuknya. Seorang perempuan yang baru tumbuh bergegas merapikan tumpukan buku yang bertebaran. Dengan sigap Ia keluar kamar lalu menguncinya. Berjalan ke luar dengan langkah yang sedikit dipercepat. Mencoba meraih angkutan umum yang biasa mangkal di bibir jalan.

Jika tidak macet, perjalanan menuju tempat itu memakan waktu sekitar 10 menit. Beruntungnya pagi ini tidak terlalu macet. Jadi Ia tidak terlambat sampai di tujuan. Menaiki anak tangga satu persatu hingga membuat peluh menetes. Akhirnya Ia tiba di ruang F. Ruangan yang didalamnya sudah dipenuhi dengan orang-orang yang terlihat berkonsentrasi. Ia pun mengambil posisi dan mulai duduk.

"Dinaaa" terdengar suara dari arah pintu
"Haiiii, Jo"
"Udah jangan belajar lagi. Keluar bentar yuk sambil cari angin" ajak pria berkulit putih itu diiringi dengan langkah Dina dari belakang.
"Haiii Din. Udah siap buat try out terakhir?" Lelaki disebelah Jo menimpali. Diikuti dengan senyuman dari Dina.
"Ehh Din, kamu suka ya sama aroma ini?" 
"Aroma apaan?" Tanya Dina bingung
"Parfum. Ini kan aroma parfum yang kamu pakai waktu kita perpisahan ke Prapat" Jo menjawab tanpa mengindahkan ekspresi bingung Dina. Seketika Dina jadi salah tingkah. Untungnya Ia tak perlu berlama-lama di situ, karena ujian akan segera dimulai. Dina butuh konsentrasi untuk bisa menyelesaikan ujian terakhir ini, sebelum bertemu dengan ujian sebenarnya. 

Perkataan Johan tadi itu sudah mengambil tempat di pikirannya. Bertanya-tanya maksud kalimat itu. Menerka alasan Johan bisa mengingat aroma parfum yang Ia pakai. Mencoba menemukan jawaban tentang seorang Johan yang ketika perpisahan terlihat mengumbar kemesraan dengan perempuan lain tetapi mengingat aroma parfum yang Ia gunakan. Ia sangat tidak mengerti maksud perkataan itu. Dina sendiri seseorang yang percaya bahwa tidak ada kalimat yang diucapkan tanpa makna. Ini juga lah yang membuat Ia tak berhenti memikirkannya.

=====
"Din, aku mau nelpon kamu. Boleh?" Sebuah pesan dari Johan masuk ke telepon genggam Dina. Tak berapa lama berubah menjadi tampilan telepon masuk. Dari Johan.

Sejak kejadian di tempat Bimbel itu, hubungan Dina dan Johan ada perubahan. Bertukar pesan di hampir setiap malamnya. Saling memberi semangat pada setiap ujian yang akan dihadapi. Hingga bertukar cerita tentang kehidupan yang dijalani, juga masa depan yang diimpikan. Sekali kali juga mengisi waktu dengan saling mendengarkan suara dari kejauhan.

"Kamu mau gak jadi pacar aku?" Tanya Johan ditengah percakapan mereka yang isinya melulu candaan.
"Ahh garing. Gak lucuuu" jawab Dina sambil tertawa.
"Yang ini serius loh Din. Aku udah siap bercandanya. Aku suka sama kamu. Aku sayang sama kamu. Kamu mau jadi pacar aku?" Johan memperpanjang kalimatnya. Berhenti sesaat mencoba memberi ruang untuk Dina agar bisa berpikir.
"Ini untuk yang kedua kalinya loh Din. Kamu masih ingat kan? Tapi ku harap cerita kali ini berbeda. Karena yang pertama itu membuat aku benar-benar sakit" ucap Johan perlahan berharap tidak menggagalkan rencananya.
"Iya. Aku gak pernah lupa kok. Tapi kamu mau kan menunggu sedikit lagi? Aku harus memastikan suatu hal" akhirnya Dina berucap setelah lama membeku. Takut kalau perkataannya membuat Johan terluka, karena Ia tak ingin mengulang kesalahan untuk kedua kalinya.

=====
"Gimana hasilnya Din? Kamu lulus?" Tanya Johan dari seberang sana.
"Iya. Aku lulus Jo. Kamu?"
"Aku juga. Selamat yaaa" jawab Johan dengan nada bahagia yang agak terdengar berat
"Iya Jo. Selamat juga buat kamu. Jadi gimana nih Jo?
"Apanya yang gimana Din?"
"Kita sama-sama lulus di kampus impian. Kamu dan aku bakalan berjuang di dua kota yang berbeda. Meskipun sekarang sudah ada telepon genggam, tapi tidak semua orang mampu berjuang bersama"
"Iya. Terus?"
"Kamu masih tetap mau menjalani hubungan denganku? Jujur. Aku juga sayang sama kamu. Kali ini aku ingin membuat cerita yang berbeda. Kamu siap dengan hubungan jarak jauh?" Dina menjelaskan agar tidak ada salah paham yang terjadi. 

Suasana seketika membeku. Tak ada untaian kata yang terucap. Seolah bibir Johan sudah patah untuk menjawab kalimat Dina.

"Din. Aku juga sayang sama kamu. Kita juga pernah bercerita tentang masa depan impian kita"
"Tapi Din, aku keras kepala. Aku tidak bisa percaya dengan hubungan jarak jauh. Bukannya mencinta, aku takut kita malah saling melukai" Johan menjelaskan.
"Aku ngerti Jo. Mungkin takdir memang tidak mengizinkan kita bersama. Bahkan ketika ada kesempatan kedua" Dina menahan air matanya yang mendesak jatuh.

Johan. Pria yang dikenalnya ketika Ia pertama kali mengenakan seragam putih biru. Pria yang ketika itu berbadan sedikit bongsor dengan kulit putihnya. Pria yang mengenalkan Dina tentang dunia remaja. Pria pertama yang mengungkapkan perasaan pada Dina. Namun tak pernah mendapat balasan jawaban. Bukan karena Johan pria gendut bongsor yang jelek, tapi karena masa itu Dina sangat tidak mengerti dengan dunia remaja. Belum mengenal rasanya jatuh cinta. 
Urusan percintaan, takdir benar-benar tak pernah berpihak pada Dina. Sekarang atau pun di masa lalu, masa ketika cinta pertama menghampirinya.

Dina seperti Hujan. Yang siap jatuh membasahi Bumi. Meski harus terjun dari ketinggian yang tak terkira. Siap berkorban kehabisan air demi memberi kebahagiaan pada Bumi. Namun juga siap ditolak Bumi.



Medan.
Sembari menunggu Durian yang tak pernah menyalahkan jarak atas ketidakmampuan dan keengganan berjuang bersama.

Comments

Popular posts from this blog

Eksotisme Pulau Banyak

Dear Zindagi

Suka Duka Menjadi Asisten Peneliti