Wanita Hebatku

"Ichaaa..selamat ulang tahun ya sayaang...semoga panjang umur, sehat selalu, dimudahkan rizqinya, cepat dapat jodoh dan selalu dalam lindungan sang Khaliq serta sukses terus menyertai kita semua.. Amiiin Ya Rabbal A'lamin"


Yang kamu baca itu adalah ucapan selamat untukku dari seseorang yang istimewa. Kemarin pagi aku menerimanya. Sebuah pesan dari wanita paruh baya di kampungku. Tidak seperti tahun sebelumnya, tahun ini Ia mengingat tanggal ini dengan baik. Meskipun seandainya lupa seperti tahun lalu, aku akan sangat maklum, mengingat usianya yang tak lagi muda. Lagi pula, aku bukan anak kecil yang akan merengek ketika orang yang ku sayang terlupa dengan hari bersejarah ini.

Dia Ibuku. Wanita perkasa dengan tubuh yang tidak lagi kekar. Dia Ibuku. Wanita lemah lembut yang tidak melulu berkata halus. Dia Ibuku. Wanita hebat meski harus berperang dalam sepi.

Selama 12 tahun Ia membesarkan aku dan para saudaraku dalam kesendirian. Mungkin selama itu pula Ia merasa tidak punya sandaran hidup. Ia sangat hebat. Tetap kuat dan tegar meski harus ditinggalkan oleh terkasih di usia yang tergolong muda. Bahkan harus mengurus 5 orang anaknya dan tanpa diberi warisan.

Ketika aku sudah dewasa, Ia bercerita. Mengungkapkan betapa beratnya perjuangan yang harus dilalui untuk membesarkan kami, anak-anaknya. Berkeluh kesah tentang air mata dan peluh yang telah bercucuran demi menghidupi kami, pelipur laranya. Mencurahkan perasaan padaku tentang kurangnya waktu 24 jam sehari demi memberi makan yang layak bagi kami, buah hatinya.

Aku turut jadi saksi perjuangan itu. Aku turut jadi saksi melihat berkurangnya timbangan Ibuku sebanyak 15 kg kala melalui bulan berduka setelah kepergian Ayahku. Aku juga melihat tumpahnya air mata Ibuku dalam setiap sepertiga malam di atas sejadahnya. Menangis hingga lelah dan terlelap sampai subuh menyapa. Juga menyaksikan begitu banyaknya peluh yang bercucuran setiap harinya demi memenuhi kebutuhan gizi kami.

Kala itu usiaku 11 tahun. Ketika Ayah diminta menghadap Penciptanya. Meninggalkan kami sendiri. Kala itu aku perih. Tapi Ibu adalah orang yang paling pantas memiliki duka dan luka terdalam. Dalam setiap tangisnya, aku selalu menangis. Dalam setiap isaknya, aku sering bersedih. Dalam setiap berat beban yang dipikulnya, tak banyak yang bisa kulakukan.
Benar. Tak banyak yang bisa kulakukan selain ikut membantu Ibu mengumpulkan rupiah. Selain ikut meminta pada Tuhan untuk memberi kebahagiaan bagi kami. Selain tetap berperilaku santun pada Ibuku. Dan tidak buat ulah di sekolah.

Ibuku selalu berusaha mendidik kami dengan penuh kasih sayang. Ia juga tak akan segan-segan memarahi bahkan memberi hukuman jika dirasa perlu. Ketika aku kecil, Ibu sering berpesan pada kami untuk tetap berperilaku baik pada siapapun. Dia tidak ingin stereotip tentang "anak yatim sudah sepantasnya nakal" melekat pada kami. Dia tidak terima jika ada orang sekitar yang memberi keistimewaan bagi kami, si anak yatim, dengan membiarkan bertingkah nakal. Kata Ibuku, jangan sampai ada orang yang berkata seperti itu pada keluarga kami. Karena itu bukan hal yang patut dibanggakan.

Tak ku duga. Sekarang Ibuku sudah mampu melewati fase sulit itu. Anak-anaknya sudah dewasa dan memang tidak ada yang pernah membuat Ibuku dipanggil ke ruang BP sekolah karena nakal. Tak jarang Ia juga berucap syukur berkali-kali karena menurutnya Ia sudah membesarkan kami dengan baik tanpa pernah terlibat perkelahian dengan orang-orang di luar sana. Baik jagoannya maupun puterinya.

Aku bangga dengan Ibuku. Yang menurut para tetangga tidak pernah marah pada kami, tetapi sebenarnya Ia pandai untuk tidak pernah memarahi kami didepan orang banyak. Karena Ia tahu itu akan memberi dampak tidak baik untuk perkembangan kami.

Aku kagum dengan Ibuku, yang selalu memberi kami ruang untuk menyampaikan pendapat meski tidak selalu diterima.

Aku salut dengan Ibuku yang tetap mendukung pendidikan kami meski dengan keuangan yang terseok-seok, karena Ia yakin pendidikan mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik dikemudian hari. Semangat Ibuku untuk menyekolahkan kami lah yang akhirnya membuatku ingin terus mencicipi pendidikan yang lebih baik, lagi dan lagi.

Sebegitu beratnya perjuangan Wanitaku. Jadi tak salah jika aku mengatakan Ia wanita hebat. Tak berlebihan jika aku memuji Ia. Karena bagiku, Ia sehebat-hebatnya Wanita. Ahh, rasanya semua anak juga akan mengatakan hal yang sama tentang Ibunya.

Terima kasihku tak akan cukup menggantikan semua perjuangan yang telah Ia berikan. Uang-uang yang diterimanya saat ini juga tak kan pernah bisa membeli semua keringat yang telah Ia cucurkan. Karena baginya itu semua tidak lebih berharga dari pada waktu yang bisa kita berikan padanya. Tak lebih berarti dari pada mendengar suara anaknya meski hanya melalui sambungan suara. Tidak lebih bermakna dari pada kita yang tetap bercerita padanya tentang hal sederhana, seperti saat kita masih kecil.
Saat ini, menurutku, hanya itu yang diminta oleh para Ibu di dunia.


Medan.
Mulai menulis setelah dapat suntikan semangat dari mendengar suara Ibu.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Eksotisme Pulau Banyak

Dear Zindagi

Suka Duka Menjadi Asisten Peneliti