Jalan Kekhawatiran yang Ku Pilih

Kita lupakan sejenak cerita Dina dan Johan. Kali ini izinkan aku bercerita tentang pertambahan usia ini. Aku baru mengingatnya lagi karena orang rumah baru punya waktu untuk memberi 5 cup cake, padahal ulang tahun ku sudah berlalu 5 hari lalu. Sebelum diberi kue aku tidak terlalu merasa telah bertambah usia. Tapi entah kenapa setelah diberi kue aku menjadi semakin merasa tua. Ahh baiknya kalian tak usah memberi ku kue itu, dengan tulisan usia pula, semakin membuat ku merasa aneh. Tak apa lah pikir ku. Kalian sudah sangat berbaik hati memberi kejutan untuk ku. Kejutan yang sejujurnya menamparku secara halus dan mengingatkan tentang betapa tak lagi muda usia ini.

Bertambahnya usia bukan hal yang mudah. Kamu tahu, sekarang aku punya beban yang lebih berat. Punya tanggung jawab yang lebih besar. Punya mimpi yang kian tinggi. Punya harapan semakin luas. 

Semua bertambah, semua berubah.

Begitu juga kekhawatiran. Ada khawatir yang kian bertambah. Bukan karena aku khawatir tidak bisa menjadi Icha seperti yang diinginkan oleh mereka, orang-orang yang menyinyiri masa depanku. Padahal mereka sama sekali tak mengerti inginku. Mereka cuma merasa paling benar, merasa telah makan gula garam lebih dulu. Jadi mereka juga meminta aku memakan gula garam yang sama, seperti yang mereka makan. 

Tapi bukan itu mau ku.

Bukan gula garam seperti yang mereka makan yang ku inginkan. Tapi aku ingin gula garam yang diproses dengan cara tidak biasa. Di panen dengan cara berbeda. Dari tangan petani yang tak terduga. Hingga kemudian menghasilkan gula garam yang lebih nikmat. Nikmat dalam kamusku sendiri. Bukan kamus kamu. Bukan juga kamus mereka. Orang-orang yang menyinyiri masa depanku.

Khawatirku bukan tentang mereka. Tapi lebih ke diri sendiri. Tak jarang aku khawatir tentang hidup yang aku jalani. Apakah sudah cukup berguna untuk orang sekitar? Apakah sudah cukup amal ibadah? Apakah sudah mencapai semua keinginan? 

Apakah, apakah, apakah....

 Terlalu banyak pertanyaan tentang 'apakah' yang menjadi kekhawatiran ini.

Sebenarnya jika Aku orang yang BerTuhan, aku tidak perlu khawatir tentang hal-hal yang tidak perlu dikhawatirkan. Aku tidak perlu khawatir tentang besok mau makan apa atau tentang kapan waktunya jodohku tiba. Tapi aku belum mampu seperti itu. Itu juga menjadi kekhawatiranku.

Dunia dan akhirat ini tak seimbang. Aku belum mampu membuatnya seimbang. Itu juga menjadi kekhawatiranku. Aku masih sering lalai ketika mendengar adzan. Aku masih sering sengaja melewatkan membaca Al qur'an. Aku masih sering mengabaikan panggilan halus Tuhan yang sering membangunkan di tengah malam. Aku juga sering tak membatasi pergaulan dengan lawan jenis. Bebas bersalaman dengan siapa pun. Meskipun pemahaman tentang sentuhan beda jenis itu jelas di kepala.

Aku khawatir jika Tuhan memanggil dalam kondisi seperti ini. Aku khawatir belum siap menerima semua hukuman Tuhan. Aku khawatir pada banyak hal. 

Aku tahu banyak khawatir itu tidak baik. Tapi terkadang, khawatir itu bisa membawa kita ke jalan lebih baik.
Tinggal pilih saja, mau ambil khawatir yang membawa pada keburukan atau khawatir membawa pada kebaikan.
Saat ini, aku sedang berjuang memilih jalan yang ke-dua. Jalan membawa pada kebaikan. Semoga saja Tuhan turut menolongku.




Medan.
Menghabiskan lima cup cake sampai mulut belepotan.

Comments

Popular posts from this blog

Eksotisme Pulau Banyak

Dear Zindagi

Suka Duka Menjadi Asisten Peneliti